"Jaga istrimu baik-baik ya, Om." Kalimat Dudu yang berani menguliahi sepasang pengantin baru itu mengundang gelak tawa semua orang yang mendengarnya. Well, pernikahan sepupu saya inilah yang membawa petualangan kita ke Solo, Jawa Tengah. Kota Batik, kalau kata tulisan di bawah nama airportnya.
Meski Adi Sumarmo ternyata terletak di Boyolali.
Berada di kota batik berarti kita harus belanja batik. Apalagi saya termasuk yang kecanduan batik. Mengikuti tante-tante yang hobi shopping, saya sampai di satu lokasi bernama Kampung Batik.
"Kampung Batiknya mau di toko yang sebelah mana, Bu?" Tanya supir taksi dan kita semua bingung. Ternyata yang disebut Kampung Batik itu adalah satu daerah di Laweyan yang merupakan pengrajin dan toko Batik. Pergi ke sana harus tahu mau ke toko apa. Akhirnya, perhentian pertama kita adalah di Batik Putra Begawan. Bulan Februari ada Solo Great Sale, jadi banyak yang diskon setengah harga. Tapi tanpa diskon pun sebenarnya harga batik di tempat ini juga sudah relatif murah, mulai Rp100,000an untuk dress. Dan bukan hanya baju, karena toko-toko di Laweyan ini juga menjual aksesoris dan tas batik. Blangkon yang saya beli untuk Andrew harganya hanya Rp30,000.
Keluar dari Putra Begawan yang terletak di depan tugu dan pangkalan becak, kita berjalan ke kiri dan menemukan banyak toko batik yang berada dalam rumah-rumah penduduk. Beberapa bahkan hanya dapat ditemukan jika kita rajin keluar masuk gang kecil. Hari Minggu pagi terlihat sepi, karena menurut seorang bapak yang jadi guide dadakan kita hari itu Kampung Batik lebih populer pada sore hari. Selain karena panas kota Solo yang bisa jadi terik, tempat ini buka hingga jam 9 malam. Jadi yang datang sore pun bisa puas belanja, bahkan setelah matahari terbenam.
Menuju Kampung Batik dari hotel sebaiknya menggunakan taksi. Selain parkiran agak susah di sana, berkelilingnya juga lebih enak jalan kaki karena banyak gang kecil yang hanya bisa dialui orang. Kalau ada mobil bisa parkir di daerah Putra Begawan, lalu lanjut dengan jalan santai atau naik becak.
Dan bukan hanya belanja, kita juga bisa mengenal lebih banyak tentang batik, bahkan bisa belajar membatik. Sayangnya, kalau hari Minggu banyak yang meliburkan diri. Tapi karena tujuan tante-tante yang saya ikuti hanya browsing dan shopping, jadi kita tetap berkeliling dengan antusias.
"Di sini banyak rumah Joglo yang sudah tua, Bu," kata bapaknya. "Sebagian sudah ada sebelum Kasunanan terbentuk. Kemarin juga ada beberapa yang sudah direnovasi oleh Departemen Pariwisata. Jadi selain batik, banyak juga yang datang untuk melihat arsitektur." Kalau menurut Mbah Google, Kamung Batik Laweyan sudah ada sejak kerajaan Pajang di tahun 1546 dan konon sejarah Batik Surakarta bermula dari sana. Sayangnya karena sudah harus mengejar pesawat (yang akhirnya malah delay itu), saya jadi tidak sempat eksplor lebih jauh. Padahal, jika membaca papan petunjuk jalan yang tersebar sepanjang jalan utama dari arah tugu ada banyak tempat bersejarah yang dapat dikunjungi seperti Masjid Laweyan, Makam Kyai Ageng Henis, Langgar Merdeka dan Rumah Tjokrosoemartan.
Intinya, Saya belum puas. Masih mau belanja, masih mau mencari batik untuk anak laki-laki yang entah kenapa susah sekali ditemukan. Dan saya juga ingin pergi ke sini sama Andrew karena selain seru, tempatnya juga fotogenik. Andrew pasti semangat bertualang lewat jalan kecil dan menyusuri gang misterius yang kuno. Tinggal nego kesempatan belanja batik dengan si anak yang mau ABG ini aja. But now, apparently, I have to leave the rest of the Batik village for another adventure.
Meski Adi Sumarmo ternyata terletak di Boyolali.
Berada di kota batik berarti kita harus belanja batik. Apalagi saya termasuk yang kecanduan batik. Mengikuti tante-tante yang hobi shopping, saya sampai di satu lokasi bernama Kampung Batik.
"Kampung Batiknya mau di toko yang sebelah mana, Bu?" Tanya supir taksi dan kita semua bingung. Ternyata yang disebut Kampung Batik itu adalah satu daerah di Laweyan yang merupakan pengrajin dan toko Batik. Pergi ke sana harus tahu mau ke toko apa. Akhirnya, perhentian pertama kita adalah di Batik Putra Begawan. Bulan Februari ada Solo Great Sale, jadi banyak yang diskon setengah harga. Tapi tanpa diskon pun sebenarnya harga batik di tempat ini juga sudah relatif murah, mulai Rp100,000an untuk dress. Dan bukan hanya baju, karena toko-toko di Laweyan ini juga menjual aksesoris dan tas batik. Blangkon yang saya beli untuk Andrew harganya hanya Rp30,000.
Keluar dari Putra Begawan yang terletak di depan tugu dan pangkalan becak, kita berjalan ke kiri dan menemukan banyak toko batik yang berada dalam rumah-rumah penduduk. Beberapa bahkan hanya dapat ditemukan jika kita rajin keluar masuk gang kecil. Hari Minggu pagi terlihat sepi, karena menurut seorang bapak yang jadi guide dadakan kita hari itu Kampung Batik lebih populer pada sore hari. Selain karena panas kota Solo yang bisa jadi terik, tempat ini buka hingga jam 9 malam. Jadi yang datang sore pun bisa puas belanja, bahkan setelah matahari terbenam.
Menuju Kampung Batik dari hotel sebaiknya menggunakan taksi. Selain parkiran agak susah di sana, berkelilingnya juga lebih enak jalan kaki karena banyak gang kecil yang hanya bisa dialui orang. Kalau ada mobil bisa parkir di daerah Putra Begawan, lalu lanjut dengan jalan santai atau naik becak.
Dan bukan hanya belanja, kita juga bisa mengenal lebih banyak tentang batik, bahkan bisa belajar membatik. Sayangnya, kalau hari Minggu banyak yang meliburkan diri. Tapi karena tujuan tante-tante yang saya ikuti hanya browsing dan shopping, jadi kita tetap berkeliling dengan antusias.
"Di sini banyak rumah Joglo yang sudah tua, Bu," kata bapaknya. "Sebagian sudah ada sebelum Kasunanan terbentuk. Kemarin juga ada beberapa yang sudah direnovasi oleh Departemen Pariwisata. Jadi selain batik, banyak juga yang datang untuk melihat arsitektur." Kalau menurut Mbah Google, Kamung Batik Laweyan sudah ada sejak kerajaan Pajang di tahun 1546 dan konon sejarah Batik Surakarta bermula dari sana. Sayangnya karena sudah harus mengejar pesawat (yang akhirnya malah delay itu), saya jadi tidak sempat eksplor lebih jauh. Padahal, jika membaca papan petunjuk jalan yang tersebar sepanjang jalan utama dari arah tugu ada banyak tempat bersejarah yang dapat dikunjungi seperti Masjid Laweyan, Makam Kyai Ageng Henis, Langgar Merdeka dan Rumah Tjokrosoemartan.
Intinya, Saya belum puas. Masih mau belanja, masih mau mencari batik untuk anak laki-laki yang entah kenapa susah sekali ditemukan. Dan saya juga ingin pergi ke sini sama Andrew karena selain seru, tempatnya juga fotogenik. Andrew pasti semangat bertualang lewat jalan kecil dan menyusuri gang misterius yang kuno. Tinggal nego kesempatan belanja batik dengan si anak yang mau ABG ini aja. But now, apparently, I have to leave the rest of the Batik village for another adventure.
Saya baru pernah ke Klewer,
ReplyDeletedestinasy laweyan bs jadi alternatif
trimas banyak infonya mbak
salam :)
Sama-sama Mas Agung. Ini juga jadi ke sini karena tante-tante saya pada bosan sudah sering ke Klewer. Boleh banget jadi alternatif.
DeleteWah saya belum sampai ke sini nich
ReplyDeleteKapan-kapan mau melihat-lihat ach
Terima kasih infonya
Salam hangat dari Surabaya
Iya, kudu mampir emang Pak De. Saya aja mau mampir lagi hihi.
Deletebaju-baju saya minim batik >< kalo ada pun seragaman sekeluarga waktu nikahan adik :D
ReplyDeleteSaya malah kebalikannya Mba :) Banyak batiknya, tapi cuma terpakai seminggu sekali pas ngantor.
DeleteAku malah belum pernah loh mba Ruth ke dalam kampung batik laweyan ini,biasanya cuma lewat di depan gang-nya aja :D
ReplyDeletePadahal dari rumah hanya butuh 1 jam kesana,hihi.. Ternyata cakep2 banget jalanan di kampung batik..
Jalanannya fotogenik banget Mba. Kalau dekat aku bisa bolak balik ke sini. Mana batiknya bagus-bagus.
Delete