Andrew selalu bawa buku (komik) di dalam tasnya. Selain action figure dan gadget yang namanya bacaan tidak pernah ditinggalkan. Sekolahnya mewajibkan murid yang menunggu kelas mulai dan menunggu dijemput setelah pelajaran usai untuk membaca buku. Jadi ada 1 buku yang dibawa untuk dibaca ke sekolah. Kenapa sih, harus segitu niatnya dalam membaca?
Papa saya besar dengan membaca, jadi yang namanya buku ensiklopedi atau fiksi sudah tidak asing lagi di rumah. Meskipun kami tidak punya perpustakaan pribadi, tapi koleksi buku yang ada dikumpulkan dalam beberapa lemari, termasuk satu lemari besar yang laci paling atas hanya bisa dijangkau dengan tangga. Ketika Andrew menjadi penghuni tetap rumah masa kecil saya itu, membaca juga menjadi hobi yang diturunkan. Koleksi buku Andrew mulai dari komik Smurf hingga kisah detektif tikus penakut bernama Geronimo Stilton yang jadi bacaan wajib di sekolahnya. Membaca adalah cara mengisi otak kita.
“I consider that a man’s brain originally is like a little empty attic, and you have to stock it with such furniture as you choose.”
― Arthur Conan Doyle, The Complete Sherlock Holmes
Koleksi Geronimo Stilton si Dudu |
Mama: Kenapa kamu jadi bisa baca?
Dudu: Soalnya Mama membohongi aku. Kalau aku tidak baca aku pasti tertipu.
Itu baru alasan pertama. Sekarang jawabannya lain lagi.
Mama: Du, apa gunanya membaca?
Dudu: Buat tau cerita... (berpikir) dan buat main game. Kalau aku tidak membaca, aku tidak tahu ceritanya, tidak bisa baca harus instructionnya dan bisa salah menembak survivor.
Kalau Andrew wajib membaca satu buku setiap bulan dari sekolahnya, saya baca buku sesempatnya. Buku terakhir yang saya baca berjudul The Sherlockian karya Graham Moore. Membacanya ada sekitar 1-2 bulan karena selain sibuk, saya juga belum terbiasa membaca karya fiksi terjemahan. Buku ini menceritakan dua kisah yang terjadi secara paralel yang dihubungkan oleh detektif favorit saya, Sherlock Holmes. Kisah pertama terjadi di 1901, ketika kita mengikuti petualangan pencipta Sherlock Holmes, Arthur Conan Doyle, yang berusaha menghilangkan bayang-bayang tokoh yang diciptakannya (dan dibencinya) itu. Yang kedua pada tahun 2010, ketika seorang Sherlockian bernama Harold White menyelidiki kasus pembunuhan rekannya yang melibatkan sebuah diary milik Arthur Conan Doyle yang hilang.
The Sherlockian yang menemani saya di kala menunggu |
Buku setebal 542 halaman itu saya temukan di tumpukkan buku diskon yang ada di Gramedia. Seperti biasa, satu tempat yang saya pasti kunjungi di sebuah pusat perbelanjaan adalah toko buku. Sekarang kebiasaan ini menurun ke Andrew yang juga selalu berbelok mencari bacaan. Bahkan dengan gadget yang ada, di mana cerita dengan mudah di download di Kindle dan sejenisnya, saya masih pergi bersama Dudu, berburu buku sampai Singapura. Soalnya menyelesaikan satu buku itu sesuatu. Menutup lembar terakhir dan bisa berkata “selesai” adalah sebuah pencapaian sendiri. Jadi, mungkin saya yang kalau kerja suka tidak fokus ini membaca untuk melatih diri berkomitmen menyelesaikan satu tugas. Selain tentunya, sebagai penulis, saya membaca untuk mencari inspirasi tulisan berikutnya.
Just like Sherlock himself said in The Adventure of the Lions Mane, salah satu cerita yang diterbitkan Arthur Conan Doyle setelah rangkaian kejadian yang diceritakan di The Sherlockian: “I am an omnivorous reader with a strangely retentive memory for trifles.”
Tulisan ini diikutkan Giveaway "Kenapa saya membaca" yang diadakan Taman Baca Pesisir. Yuk ikutan berdonasi buku untuk anak Indonesia bersama Taman Baca Pesisir.
Saluut sudah dari kecil terbiasa untuk membaca, semoga nggak seperti teman-teman di luaran sana yang sedari kecil disodorkan dengan gadget dengan beraneka-ragam games'nya.
ReplyDeleteBtw, mamanya jadi ketahuan suka nipu nih... :D
Hahaha.... kan maksudnya biar jadi motivasi dia belajar baca. Sekali baca jadi ketagihan soalnya.
DeleteBagus juga kalau mengajarkan membaca sejak dini.
ReplyDeleteBenar Pak. Biar jadi kebiasaan pas sudah besar. hehe.
Delete