Anak saya smart. Saya ngga (berani) bilang Andrew pintar, soalnya raportnya suka kebakaran dan saya sering dilaporkan kalau anak saya kurang konsentrasi di sekolah. Tapi anak saya smart. Soalnya dia bisa mengatur waktu belajarnya sendiri, dan menegosiasikan itu dengan ‘pawang’nya yaitu Papa saya (si Opa) yang GUALAKnya minta ampun kalo sudah soal sekolah. Buat si Opa ini, hari pendidikan nasional itu tiap hari... termasuk hari Minggu.
Opa: Andrew belajar sekarang!
Andrew: Nanti dong Opa. Jam 2 ada film Pororo, Jam 3 aku mau nonton Doraemon, Jam 4 aku mandi. Jam 5 deh aku belajar sampai allahuakbar.
(maksudnya sampai Adzan Magrib)
Atau ngibulin si Oma biar dibelikan mainan.
Andrew: Oma, kalau ini hari terakhir Oma, Oma mau apa?
Oma: Oma ada tabungan buat kamu, buat mama kamu....
Andrew: Oma ada tabungan? Bisa beli mainan? Bisa nginep hotel bagus dong.
Nah kena kan...
Bukan hanya anggota keluarga yang jadi korbannya. Andrew punya kemampuan negosiasi yang menurut saya agak licik. Contohnya seperti di postingan saya tentang Kids Meal, di mana dia berhasil menukar jus yang ada di menu dengan jus apel kesukaannya (padahal tidak tertulis di menu) tanpa extra charge. Atau kejadian waktu saya menunggu boarding pesawat di Soekarno-Hatta, ketika ada satu cewek cantik 20-an duduk mainan iPad di samping kita.
Andrew: Tante, itu iPad ya?
Tante: Iya. Ih kamu lucu deh. Namanya siapa?
Andrew: Andrew, Tante.
Tante: Mau naik pesawat juga?
Andrew: Iya. Tante mau ke Semarang juga?
Tante: Iya... Kamu kok lucu sih?
Andrew: Tante, iPadnya ada gamenya?
Tante: Ada nih (menyalakan game)
Andrew: Maininnya gimana?
Bisa ditebak bahwa tidak sampai semenit kemudian si Andrew mendapatkan pinjaman iPad untuk main game dari seorang Tante cantik yang baru dikenalnya. Dan waktu itu Andrew masih TK. Smart kan?
Tapi Smart juga berarti ngga pernah kehabisan akal.
Anak saya suka bawa mainan pistol-pistolan ke Mall. Jadi kalau jalan-jalan kita berdua suka dapat pandangan iri dari anak-anak kecil lain dan pandangan horror dari orang tuanya karena Andrew sibuk “nembak” kesana kemari. Saya sering melarang dia bawa senjata ke mall soalnya saya stress takut dia ngga sengaja mukul orang or menjatuhkan barang dagangan.
Andrew: Ma, boleh bawa pedang?
Mama: NGGAK!
Andrew: Pistol ini?
Mama: Nggak boleh. Kamu tuh kenapa sih bawa senjata melulu? Bawa tuh buku, robot-robotan yang muat masuk ke dalam tas jadi ngga susah kan bawanya.
Andrew: Ya udah deh bawa buku dan robot-robotan.
Mama: (memperhatikan apa yang dimasukkan ke tasnya) EH! Itu kenapa pistol ikut masuk?
Andrew: Kan kata Mama yang bisa muat di tas. Ini pistol kecil kok muat di tas. Boleh dong.
Mama: (sudah malas berdebat) Ya terserah deh sana asal jangan merepotkan Mama.
Andrew: Asyikkk Mama baik deh. Mama cantik... aku sayang Mama.
Dimana ada kemauan di situ ada jalan. Kalau perlu, jalan tikus pun dicoba asal tujuan tercapai. Gitu kali prinsipnya ya?
Tapi kecerdikan Andrew tidak terlepas dari lingkungan sekitarnya juga. Ada si Om yang hobi bikin barang recycle. Yang membuat Andrew tiap ketemu barang baru selalu bertanya “Kenapa cara kerjanya begini?” atau “ Gimana ini bikinnya?” Ada si Opa yang bikin Andrew jadi disiplin dan berpegang pada janji... dan bisa negosiasi waktu. Dan ada acara TV yang ditontonnya yang membuat Andrew jadi bicara bahasa Indonesia baku dan kerap catch adult off-guard when they first meet him.
“Anak loe pinter ya. Bahasa Indonesianya bagus.” Kata seorang temen saya yang terkagum-kagum waktu pertama bertemu Andrew. Belum lagi kalau dia melontarkan pertanyaan “ingin tahu” sederhana yang tidak bisa dijawab oleh teman-teman saya seperti “Kenapa tante suka permen? Permen itu kan membikin gigi jadi sakit.” atau pertanyaan complicated macam yang terlontar ketika dia menyaksikan adegan Superman mematahkan kepala Jendral Zod: “Kenapa Superman sedih, Ma. Harusnya kan dia senang musuhnya sudah kalah.” Pertanyaan itu berujung percakapan panjang tentang suku bangsa dan asal usul sesorang.
Dan sekarang dengan bahasa Inggris yang sudah cas cis cus alias lancar, semakin banyak orang dewasa yang bengong kalau bertemu anak saya.
Tapi anak zaman sekarang memang sudah berbeda dengan zaman saya dulu. Anak saya sudah fasih main tablet sejak usia 4 tahun, sementara saya dulu baru pegang HP pas sudah SMA. Dengan segala resources yang ada, memang seharusnya anak sekarang jadi lebih smart. Cita-cita anak saya (yang dulu pas TK mau jadi nelayan itu) adalah menjadi seorang professor atau game developer.
Dari tadi cerita anak saya terus hehehe maklum namanya juga emak-emak ya kan? Trus apa dong yang membuat saya merasa smart? Yang pasti saya merasa smart kalau berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan ajaib yang dilontarkan anak saya. Apalagi kalau berhasil balik ngibulin si Smart Boy itu. Rasanya seperti jadi orang paling smart sedunia. Padahal lawannya cuma anak kecil 7 tahun.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.