15 June 2012

Competition for babies? Are you kidding me?

Fashion Show isn't just for girls

When I found a certificate saying my youngest brother won a healthy baby competition, that got me. How come a 6-month-old baby got pulled into a competition? And how can you compare one healthy baby to another? Now, a parent myself, I started to see what it means to have a trophy on your shelf.

I was never competitive.
I don't have the confidence nor the courage to handle being a loser.
But my son is different. He likes to compete, he likes to win and whenever he loses, he tries harder. I was surprised (he must have inherited that from his dad).

Following him through different stages and different dramas this past 4 years, I started to see how competition is beneficial (or at least positive) for me and my son.

(1) We find time to bond. Being a working mother, I rarely spend time with him at home. So whenever we sat together waiting for his turn on a fashion show competition, we found time to talk and share how our week is going. We got to pick clothes together, practice together and I got to support him from the side. He learnt that I will be there with my camera and despite my absence during the week, I will always be there to support him on competition.

(2) Socialize. I got to socialize, meeting other competition-mania moms and bond with them. From one stage to another, we ended up as friends, sharing stories way beyond photo and fashion show contests. it leads to playdates and friendship. A good thing... especially when my son has no brothers/sisters to share his toys with.
Finding new friends


(3) Competition teaches how to win, how to lose and how to try again. Not just for the kids but for the parents as well. Many experts agreed on how competition on regular basis will benefit the children. Competition teaches kids problem-solving skills, set goals, and learn about their limitation. Parents learn how far they should push the children and how to cope with loss - because the children's loss is the parents' loss as well. And sometimes parents take loss harder than their children (who in 10 minutes already forget about it). In my case, it's an easy way to teach my son that he doesn't always get what he wants. Since he's currently the only grandchild my parents have, we can safely say he got almost everything he wants.

(4) He learnt to listen. Kids have short attention span, so it's good to have him focus during the briefing before each competition and get him to listen when his name/number is being called. He learnt that if he miss, he won't have another chance and he'll lose not because other people do better but simply because he didn't listen.

But well, my son is 6 years old. I can't speak for the babies.


Andrew at Parenting Indonesia Cover Hunt

31 May 2012

Nyaman apa malah repot?

Sebenarnya banyak kemudahan yang ditawarkan oleh bandara dan airlines untuk penumpang yang bawa anak kecil. Jangan langsung diambil... liat-liat sikon dulu ya...

First long-haul flight at 10mth
Situasi: Yang punya bayi or anak kecil boleh naik pesawat duluan
Pertimbangan: Soalnya lebih repot ngatur duduknya anak. Kalo orang dewasa doang kan tinggal duduk aja.
Pikirin juga: Kalo anak bosen nunggu semua orang masuk pesawat. Soalnya saya pernah pas ke luar negeri yang cukup jauh (skitar 6 jam perjalanan) kan pakai pesawat besar (yang rownya bisa sampai 50an), anak saya bosan nunggu semua orang masuk dan duduk di pesawat. Yang ada dia nangis karena bosan. Mana kalo belum ganti mesin buat terbang kan AC masi panas, cuman keluar angin aja. Jadi kalo ada panggilan untuk masuk ke pesawat duluan, coba lihat anak anda lagi asyik main di gate apa sudah pengen naik pesawat.

Situasi: Anak kecil dapat makanan kids meal
Pertimbangan: Beberapa kids meal dilengkapi mainan. Makanan lebih kids friendly juga (misal tidak pedas, ada susunya, ada pudingnya, ada snacknya).
Pikirin juga: Kalo anak mengincar makanan kita. Pernah anak dapat kids meal: hot dog, applesauce, susu dan pudiing. Dia sih semangat minum susu dan makan puding, begitu dia liat hot dog, dia langsung minta sosinya aja. Eh, begitu makanan saya datang (yang isinya nasi sama ayam), langsung minta tukar makanan. Jadi, kalo bisa tanya in advance, kids meal airlines anda isinya apa, mungkin anda bisa memilih untuk tidak meminta kids meal buat anak anda. Butuh susu? Well, biasanya kereta minuman juga offer susu kok.

Situasi:Family yang bawa anak kecil duduk di belakang board pembatas.
Pertimbangan: Lebih banyak legroom dan lebih lega juga. Kalo bawa bayi, beberapa airlines menyediakan basinet supaya si Baby bisa ditaro.
Pikirin juga: Lokasi TV yang di beberapa airplanes tepat ada di depan anda. Kadang ketiadaan meja di depan bikin anak kesel - karena anak saya belum bisa angkat meja lipat yang di kursi tangan. Waktu terbang long-haul Tokyo-San Fransisco, daripada minta kursi yang di belakang board pembatas, saya lebih memilih kursi di bagian paling belakang. Selain anak bisa bolak balik ke WC (buat jalan-jalan and meluruskan kaki), kalo makan ngga harus menegakkan sandaran kursi. Kan di belakangannya sudah tidak ada orang.

Situasi: Mau bawa carseat ke pesawat
Pertimbangan: Kan lebih aman dan anak ngga usah terus-terusan dipangku.
Pikirin juga: Bawa carseat means bayar 1 kursi lagi loh Mom. Meskipun untuk perjalanan panjang, ini melegakan (karena ngga harus mangku or gendong terus), tapi mom biasanya harus bayar extra untuk 1 kursi. Tapi sisi positifnya, kalo si anak sudah duduk, kadang carseat yang ngadep ke depan itu mengganjal kursi anak, jadi dia bisa lihat jendela tanpa harus berdiri (yang biasanya dimarahi pramugari).

So, next time you're on a flight, check dulu ya...

07 April 2012

Batik Kebanggaanku


Kalau bicara batik, yang pertama muncul di benak saya adalah saat pertama saya mengenalkan warisan budaya Indonesia ini pada Andrew, putra saya yang ketika itu baru berusia 2thn.

Dalam satu kunjungan ke Semarang, kami mampir ke sebuah mall dan menemukan area membatik. Wah, saya langsung tertarik. Saya belum pernah membatik... apalagi ini bisa jadi kesempatan untuk mengenalkan Andrew akan warisan budaya Indonesia yang satu itu. Singkat cerita, si toddler ngotot mau pegang centing sendiri, ambil lilin panas sendiri... dan akhirnya sukses keselomot kompor sampe nangis membahana ke seluruh mall. Oops.


Tapi ngga lama nangisnya berhenti dan kita melanjutkan membatik sampai selesai. Sampai di hotel dia pamer kelingking yang melendung ke opa dan oma sambil ngoceh panjang lebar. Saya kena semprot Mama karena kurang hati-hati jaga anak sementara anak saya dengan bangganya menunjukkan hasil karyanya.

Untungnya sekarang sudah ada cara mengenalkan batik yang lebih aman dan tidak pakai ada acara keselomot kompor. Caranya dengan mengikutkan si kecil ke dalam program “Satu Batik Jutaan Jari” dari Bodrexin. Mudah kok, yang perlu dilakukan hanya mengirimkan foto sidik jari si buah hati dan foto expresi uniknya beserta tangan yang sudah dicap ke Fanpage Kebaikan Bodrexin.

Acara ini ada roadshownya dari kota ke kota di seluruh Indonesia. Selain batiknya unik, anak juga dapat ‘membatik’ dengan aman. Jangan sampai kelewatan ya. Keterangan lebih lanjut, selain ada di fanpage ada juga di twitter @tentangkebaikan.


Dan kisah keselomot kompor saat membatik itu jadi satu kebanggaan buat Andrew sampai sekarang dia sudah 6thn. Setiap kali pakai batik (seperti ke acara resepsi atau peringatan Kartini di sekolahnya), dia dengan bangga akan cerita ulang proses membatik, lengkap dengan expresi keselomot kompor-nya.

Saya sebenarnya ingin lebih sering Andrew mengenakan batik, tapi saya sering pusing mau dipasangkan dengan apa lagi ya batiknya? Karena anak saya cowok, mix and match saya suka mentok di kemeja dan celana. Well, kalau sudah mati ide, biasanya saya mampir ke Mommies Daily untuk mencari inspirasi. Selain sebagai sumber informasi (bukan hanya untuk fashion anak saja lho), Mommies Daily juga merupakantempat sharing para mommies.

In the end, saya jadi sadar kalau melihat anak saya segitu bangganya dengan batik yang dia buat, berarti saya juga harus bangga akan batik-batik yang dihasilkan bangsa Indonesia. Karena meskipun bukan saya yang membatik langsung, semuanya adalah hasil karya bangsa sendiri.

Pakai batik? Siapa takut?













Outfit 1: Batik shirt Danar Hadi + Jeans
Outfit 2: Batik shirt unbranded dari Jogja + Gap T-shirt beli di outlet + Little M pants
Outfit 3: Batik shirt unbranded dari Solo + Pants beli di Tajur + shoes beli di Singapore

13 February 2012

Ikhlas itu (Ternyata) Susah

Tahun lalu, saya dinasehati seorang teman: "Eh, anak loe mau 5 thn ya? Cepetan ikutin lomba, ntar udah keburu ngga bisa."
Yah, kalo ngga bisa terus kenapa?

Ternyata banyak yang ngga secuek saya.Sering terima message yang nanya: maksimal 5thn itu kalo belom 6 thn boleh ngga ya? dihitung 5 tahun di bulan apa?Sama juga dengan sebaliknya sih: Yahhh lomba untuk anak 1 tahun ke atas ya? kalo 11 bulan boleh ikutan? Yang namanya ibu-ibu, anaknya kan lucu-lucu ya, seringkali kita ga rela kalau anak kita ngga bisa ikutan lomba cuman karena batasan umur. Padahal fotonya udah pas! Saya juga sering merasakan frustrasi itu. Giliran ada fotonya umur anak saya udah lewat. Bahkan saya sampai pernah menyesali, seandainya anak saya waktu awal hidupnya ada di Indonesia, saya pasti lebih gila lagi lomba foto. Tapi, well, itu semua sudah berlalu. Waktu ngga bisa diputar ulang.Ngga ada gunanya juga meratapi umur anak yang terlewat (atau belum sampe).

Dari lomba-lomba ini, saya belajar banyak soal ikhlas.
Ikhlas karena ngga menang (ya ini sih jangan ditanya).
Ikhlas karena pas mau foto, anaknya ngambek or hujan or ada faktor X.
Ikhlas karena anak saya mogok fashion show.
Ikhlas karena ngga sempet kirim foto via pos.
Ikhlas beli produk yang kadang mahal atau yang ntar ngga kepake (lama-lama kapok).
Ikhlas merelakan weekend yang bisa dipake tidur/nonton buat ngejer foto.
Dan yang pasti...Ikhlas merelakan ngga ikutan lomba lagi karena anak saya skrg sudah 'tua'

Yang terakhir yang paling susah. Soalnya saya termasuk 'terlambat' ikutan lomba secara setelah beberapa tahun, saya jadi belajar gimana teknik foto anak, di mana tempat2 seru buat foto, dll. Pas semua sudah ketemu, eh anak saya udah lewat usia balita aja dong.... HIKS. Mana anak saya cowo pula. Kalo cewek kan lewat balita masi ada banyak ya, kalo cowok? Hiksssssss (masih ngga rela)

Makanya saya seneng banget punya web/blog/fb Pfenix ini. Soalnya saya udah terlanjur suka browsing ke sana sini. Trus kalo umur anak saya sudah lewat, informasi lomba yang saya temukan mau diapain? Masa lihat brosur, kecewa "yahhh umurnya dah ga bisa" trus udah gitu aja? Kalo ada Pfenix kan enak hehehe... Cuma, ya saya jadi ngga serajin dulu keliling supermarket/hypermarket/mall tiap weekend cuman buat liat ada lomba baru ngga ya. Paling-paling pas lagi belanja bulanan/jalan sama anak aja.Untuk yang itu, gantian moms yang harus ikhlas ya. Hehehe.

Sekarang anak saya sudah lima tahun setengah.Mukanya boros pula, kayak anak 8thn.So it's time for me to say goodbye ke lomba-lomba balita yang seru habis itu. Haha. Padahal anak saya juga ngga rajin-rajin amat ikutan. *drama*


PS: Saya jadi tergerak menulis notes ini setelah membaca ada yang ikutan lomba dengan memalsukan umur anak atau mengikutkan foto yang pernah menang lomba (padahal di peraturannya jelas2 dibilang ga boleh) dan cara lain sebagainya yang bisa masuk kategori 'ngga jujur'. Makanya saya jadi kepikiran betapa susahnya yang IKHLAS itu. Tulisan ini TIDAK bermaksud menyindir pihak manapun. Hanya sharing saja. Semoga kita bisa tetap senang-senang dengan berkompetisi sehat ya Moms.

21 April 2011

LIKE this? ARGH!

Sebel sama lomba yang pake LIKE?
Iya, saya juga.
Kesannya, sudah susah2 foto anak, ternyata yang dilihat bukan fotonya, tapi jumlah jempol yang bertengger di bawahnya.

Saya sampe nanya sama temen saya yang webmaster, "kenapa sih, seneng bener ada lomba pake LIKE?"Dia bilang karena like itu meningkatkan traffic ke website/fb/social media yang digunakan. Lebih2 kalo fotonya ada di webiste yang bukan FB atau kalau harus nge-like FBnya dulu. Itu bagus banget buat report ke bossnya bahwa FB pageya populer. Bagus buat naikin nama (karena trafficnya naik). Ohhh... pantesan. Tapi tetep aja sebel. Kayaknya foto anak kita yang cantik dan ganteng ini, yag udah susah2 dicari moodnya biar mau pose, kok cuman dihargain dengan jempol.

Tapi moms (and dads), saya di sini bukan mau complain sih. Lebih kepada, meyuarakan "jangan menyerah" or "jangan putus asa duluan" kalo liat lomba yang pake LIKE. Soalnya saya pernah kirim email ke salah satu penyelenggara lomba, menyuarakan kekecewaan saya, eh ternyata si penyelenggara menambah kategori "pilihan juri" di tengah2 lomba. Mungkin yang protes bukan hanya saya, tapi saya puas aja bisa menyuarakan kekecewaan saya dan merasa didengar oleh si peyelenggara lomba. Saya tetap ngga menang seh di kontes tersebut, tapi saya jadi berpikir bahwa sebenarnya kita punya hak buat 'complain' hehe.

Saya bukan menyuruh moms (and dads) sekalian buat complain loh... hehehe... ntar penyelenggara lomba pada marah sama saya. Tapi ya, saya sering lihat di lomba foto yang saya ngga ikutan pun (yang ga ada hubungannya juga sama ibu dan balita) banyak yang complain soal LIKE. Tapi apa boleh buat, emang menguntungkan sih secara teknis. Mungkin yang bikin kontes juga sedih liatnya, tapi karena emang begitu peraturannya, ya apa boleh buat. Mencari pemenang 'pilihan juri' lebih susah loh. Coba moms bayangin, kalau harus memilih dari ribua foto yang sama lucunya. Pasti enakan pake LIKE, tinggal lihat siapa paling banyak trus diumumkan.

Tiap peraturan ada resikonya (makanya sering ditulis kl keputusan juri ga bisa diganggu gugat).
So, kalo mau ikutan ya ikutan aja moms. Lakukan sebisanya. Kalau kalah... ya, masih BANYAK BANGET lomba di luar sana. Sejak punya Pfenix saya jadi ga mempermasalahkan kalah menang karena jadi sadar berapa banyak lomba di luar sana. Yang terposting di Pfenix juga pasti cuman sepersekian deh.

Semangat!

*nulis ini karena habis browsing FB trus agak miris liat komen org2 yang bilang 'saya meramaikan saja deh'*

30 March 2011

Perjalanan Keliling Dunia Babak Kedua




Test pack bertanda tanda positif membuat waktu serasa berhenti. Hah? Hamil?

Di saat seluruh keluarga, kerabat dan teman sibuk mengucapkan selamat, saya malah putus asa. Pasalnya, saya baru beberapa tahun lulus dari usia remaja, masih kuliah di Amerika, dan masih punya cita-cita keliling dunia. Terbayang dong, di saat teman seangkatan masih bisa gendong backpack sambil naik gunung, saya malah gendong bayi sambil belanja susu di supermarket? Aduhhh… ngga banget deh! Saat itu, detik itu, saya pikir kehidupan bebas saya sudah berakhir. Saya harus mengubur dalam-dalam hobi travelling saya ini. Tidak akan ada lagi roadtrip keliling California dan tinggal di hostel murah. Tidak akan ada lagi lari-lari dari Times Square mengejar subway terakhir saat malam pergantian tahun. Yang ada hanya sibuk mengganti popok bayi di rumah.

Ternyata saya salah besar.

Bulan-bulan pertama bersama si bayi memang berasa seperti akhir dunia. Jangankan keluar kota, keluar rumah saja susah! Waktu saya full time mengurus anak dan, jujur saja, saya sempat stress. Soalnya, saya bukan tipe yang betah di rumah berminggu-minggu. Saat dilarang mengemudi atau naik pesawat karena perut yang membuncit saja, saya sudah uring-uringan karena tidak bisa kemana-mana. Bahkan, pecah ketuban pun saya masih ke mall, makan… setelah itu baru ke rumah sakit. Pokoknya di dalam kamus saya, tidak pernah ada yang namanya duduk manis di rumah.

Lalu, kesempatan itu datang. Usia 5 bulan, tepat malam natal saya memutuskan untuk mengunjungi keluarga ipar saya di negara bagian lain.Perjalanan cukup memakan waktu dan menegangkan. Dari kota saya, saya harus naik travel 2 jam ke airport. Dilanjutkan dengan naik pesawat selama 4 jam. Dari airport, tempat tinggal ipar saya masih 1 jam lagi naik mobil. Total perjalanan ada 7 jam. Betah ngga ya anak saya? Dag dig dug jadinya.

Saya sempat browsing-browsing tentang bagaimana tips bawa anak bayi naik pesawat. Maklum, tinggal di negeri orang membuat saya tidak ada tempat bertanya selain internet. Sempat frustrasi dengan packing yang tidak selesai-selesai karena ternyata bepergian dengan bayi membuat barang bawaan jadi dobel. Belum lagi harus bawa carseat dan stroller. Bahkan sempat terpikir untuk membatalkan saja trip saya itu karena seminggu sebelum berangkat dokter menyatakan anak saya terkena infeksi telinga. Perubahan tekanan udara bisa menimbulkan rasa sakit dan beliau membekali saya dengan beberapa obat-obatan termasuk sebotol antibiotik.

Hari yang (tidak) dinanti pun tiba. Saya siap dengan koper dan car seat. Sepanjang perjalanan menuju airport, si bayi tidur dengan tenang. Kemudian kita check in dan masuk ke ruang tunggu. Dia mulai rewel sendikit, tapi mainan bisa menenangkannya. Begitu berjalan masuk ke kabin dan duduk di kursi, dia mulai meraih apa saja yang berada di dalam jangkauan tangannya. Beruntung kursi sebelah saya kosong. Saat pesawat siap di landasan, saya berikan dia empeng sesuai saran dokter anaknya. Ajaibnya, tidak ada acara menangis karena tekanan udara di kuping, baik pada saat lepas landas ataupun mendarat. Yang ada hanya seorang bayi yang sibuk merobek-robek dan membasahi majalah dengan air liurnya. Dan ketika 4 jam kemudian pesawat itu mendarat tanpa satu insiden pun, tanpa satu tangisan pun, saya merasa Tuhan memberikan saya kesempatan kedua.

Sejak itu, anak saya jadi partner berpetualang. Perlahan tapi pasti kekhawatiran saya tentang terjebak di rumah terhapuskan oleh kenyataan bahwa anak saya juga tidak betah di rumah. Usia 8 bulan, saya ajak dia road trip keliling California. Usia setahun, kami menambah daftar tujuan dengan mengunjungi beberapa negara bagian lain berdua saja dan menginap di hotel tak berbintang. Usia 1.5thn, anak saya sudah bisa bolak-balik Indonesia-Amerika tanpa ada masalah. Usia 3 tahun, kami pergi ke Thailand. Yang terakhir malah kita berdua jalan-jalan keliling Eropa Barat. Memang sih, agak sedikit berbeda dengan apa yang dulu saya bayangkan karena sekarang perjalanan saya lebih kepada menunjukkan dunia yang beraenak ragam ini pada anak saya.Perjalanannya tetap penuh kenangan kok. Yang paling penting, tak ada lagi penyesalan karena melewatkan kesempatan menikmati masa muda dengan keliling dunia.

Jika ada yang tanya 5 tahun yang lalu, saya pasti jawab jadi ibu di usia muda adalah mimpi terburuk saya. Tapi jika ada yang bertanya pada saya sekarang, jangan harap saya mau bertukar posisi dengan siapa pun. Tuhan sudah memberikan saya kesempatan kedua, dan saya akan pergunakan sebaik-baiknya, untuk jadi ibu yang baik, dan teman jalan-jalan buat anak saya.

Cerita ini diikutan Cita-Cinta Second Chance Story last minute sih, ternyata sempat masuk 3 besar dan jadi juara favorit. Iseng2-iseng berhadiah deh.

26 March 2011

This is my story: Time For A Master Graduation

Such a simple dream but such a hard thing to do.

Why? I’m 26, a mom of a 5-year-old boy, and the only one in my family who doesn’t have a master degree. My son was born when I was still in college, pursuing a bachelor degree at the time. Well, I did graduate with two bachelor degrees. It gave me the confidence to try a semester on a graduate program. Three months into it, I realized that toddler and thesis don’t go well together. Especially when you’re studying in a foreign country… alone. So, I gave in and went home.

But that’s old story. I’m proud of what I am. Thanks to the never ending support of my family and thanks to EF (www.englishfirst.co.id). I learnt English at EF since elementary school. I technically “graduated” from EF (I finished off all their regular levels), joined conversation class and took TOEFL class before flying off to Uncle Sam’s home pursuing a higher education.

However deep inside, I still want that higher degree (and a cooler graduation outfit). In 2030, I’ll be walking the path one more time, graduating with a master in Cultural Anthropology. By that time, my son will be finishing up his Doctorate if he stays in school. But, hey, it’s never too late to pursue your dreams, right?

Why the judges have to pick my story?

Well, because I think it’s never too late to learn something (or earning a degree). While joining EF Conversation class back in high school, I met an elderly lady who learnt English just to talk to her English-speaking, half-American grandson. That’s the spirit I want to share and I’m sure many will agree with me.




The story is also published on my FB: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150125984897690


02 February 2011

Betulin Aja!

"You Break It, We Fix It!" (Handy Manny)

Anak anda mungkin familiar dengan kalimat itu, yang sering terucap oleh salah satu tokoh kartun Disney. Jadi, kenapa tidak dijadikan acuan untuk berbagi?
Awalnya semua ini gara-gara anak saya datang menghampiri karena senapan kesayangannya rusak. Ujungnya hampir putus. “Ma, betulin dong.” Daripada beli yang baru saya coba mengelemnya kembali. Berhasil sih. Tapi beberapa lama kemudian, senapan tersebut rusak lagi. Saya coba selotip, eh copot juga. Hm… berarti, saya kurang oke nih memperbaikinya.

Nah, jadi kalau mainan rusak dapat diperbaiki dengan benar, mainan tersebut bisa jadi baru dong. Kenapa tidak mengumpulkan mainan bekas yang masih bisa diperbaiki lalu kita memperbaikinya sama-sama dengan benar? Mainan yang seperti baru itu kemudian bisa dikumpulkan dan disumbangkan kepada anak-anak yang membutuhkan. Dan kenapa berhenti dengan mainan? Buku juga bisa loh!

Keterlibatan Anak

Pertama, anak bisa diajak mengumpulkan mainan rusak tapi masih layak. Misalkan rattle yang sekrupnya lepas, atau mainan dengan baterai litium yang baterainya sudah harus diganti. Mainan-mainan tersebut kemudian dibawa ke sebuah workshop (bekerja sama dengan pihak yang ahli) yang mengajarkan anak bagaimana membetulkan mainan bersama-sama sehingga menjadi mainan yang bisa dimainkan kembali. Dengan begitu, anak diajarkan menyayangi mainannya, dan mengerti bahwa mainannya tidak harus selalu dibuang karena masih bisa dibetulkan.

Kedua, anak diajak berpartisipasi menyerahkan mainan bekas yang telah diperbaiki tersebut. Selain bisa bermain bersama, anak juga diajak mengenal siapa yang menerima mainan tersebut. Karena, sewaktu saya mengajak anak saya untuk menyumbangkan mainan ke drop box, sempat terlontar pertanyaan, “Ma, mainan ini untuk siapa?” Karena disumbangkan kepada sebuah yayasan, saya hanya bisa menjawab “kepada kakak/adik yang tidak mampu beli mainan.” Kalau anak diajak mengenal siapa yang menerima mainan, maka dia bisa tahu, “oh, mainan saya sekarang dimainkan kakak itu ya…”

Harapan

Dengan adanya projek ini, saya berharap:
  • Anak-anak bisa lebih menghargai mainan dan tidak selalu minta mainan baru karena yang lama lecet sedikit. Anak juga diajak berkarya dengan membetulkan mainan, sehingga anak bisa kreatif dan mandiri.
  • Anak jadi lebih merasa memiliki terhadap mainan tersebut dan bisa ikut bangga bahwa dia sudah membantu menyumbang. Kalau hanya mainan yang dibelikan orang tua terus disumbangin, mungkin anak akan lebih cuek. Tapi kalau dia ikut memperbaiki mainan itu, saya harap anak bisa lebih merasa bangga bahwa mainan yang dia perbaiki itu bisa berguna buat orang lain.
  • Anak bisa belajar berbagi secara berkelanjutan. Anak balita, yang bisa loyal kepada satu karakter animasi, bisa diajak mengenal siapa yang disumbang sehingga jika kelak dia ada mainan bekas lagi, dia bisa terpikir “oh iya, ada kakak/adik itu yang butuh mainan ya.” Dan tergerak menyisihkan mainannya untuk disumbang.

(Tulisan ini diikutsertakan Lomba Proyek Tango Spread Miracles. Ngga menang sih, tapi seneng aja bisa ikutan, soalnya ini yang pertama saya pernah kepikiran bikin "proyek berbagi")