AKU BISA bukanlah ungkapan asing di rumah saya.
Semua bermula dari niat anak saya membantu menyapu lantai. Andrew, yang waktu itu berusia 2 thn, menghampiri Mbak-nya yang sedang menyapu lantai dengan sebuah sapu ijuk yang gagangnya lebih panjang dari tinggi badannya.
“Mbak, aku mau bantu sapu!” Katanya suatu pagi.
“Emang kamu bisa?” Spontan tantangan itu terlontar dari saya.
“AKU BISA!” Jawabnya dengan penuh semangat.
Kaget juga melihat usaha anak saya untuk menggunakan sapu itu. Tapi setelah kata-kata AKU BISA tadi, sepertinya dia berusaha membuktikan kalau dia benar-benar bisa. Begitu juga dengan hal-hal lain yang dia pelajari. Melepas sepatu sendiri misalnya. Waktu Mbak-nya pulang kampung Lebaran kemarin, Andrew, waktu itu sudah 3 thn, mulai belajar memakai dan melepas sepatu sendiri. Melepasnya sih gampang, memakainya itu bisa sampai 15 menit sendiri…
Terlontar lagi dari saya waktu dia sedang berusaha memasukkan tumitnya ke dalam sepatu, “Emang kamu bisa? Perlu dibantu ngga?”
“Ngga usah! Aku bisa!” Jawabnya.
Buat anak sekecil Andrew, yang baru belajar melakukan banyak hal, kata-kata AKU BISA bermakna lebih dari sekedar ungkapan. Kata-kata tersebut seperti meyakinkan dia bahwa dia benar-benar mencoba dan benar-benar merasa bisa. Satu hal yang saya pelajari dari semangat “AKU BISA” si Andrew adalah kekuatan positive thinking-nya. Memang, ada kalanya dia gagal dan menghampiri saya sambil membawa sepatunya. “Nggak bisa, Ma. Tolongin dong.” Tapi sering juga dia berhasil dan bilang “Tuh kan, AKU BISA!” dengan bangganya.
Melihat kegigihannya berusaha, saya juga jadi terinspirasi untuk tidak menyerah di depan sebelum benar-benar mencoba. Karena siapa tahu, ternyata AKU BISA.
Diikutkan ke lomba menulis Word Share Contest Dari Kalbe Nutritionals