21 September 2017

Belajar Menghargai Perbedaan dengan Wisata Rumah Ibadah

Dudu tidak dapat pelajaran PPKN dan Agama di sekolahnya. Tidak ada buku cetak yang mengajarkan umat Hindu sembahyang di Pura, umat Islam di Masjid dan lain sebagainya. Maklum, sekolah internasional, jadi berbeda kurikulumnya dengan saya dulu yang bertahun-tahun dijejali teori perbedaan suku dan agama. Ketika kegiatan Wisata Rumah Ibadah Komunitas Bhinekka (akhirnya) dibuka untuk anak kelas 4-6 SD di Jakarta, saya langsung daftar. 




Kenapa memahami perbedaan itu penting? Karena anak harus belajar toleransi dan menerima bahwa ada banyak orang yang berbeda dengan mereka. Menurut Vera, psikolog yang membawakan sesi "pembekalan untuk orang tua" di awal acara, tidak memahami perbedaan bisa mengakibatkan anak jadi stress dan kemudian tidak siap menghadapi perbedaan di lingkungan yang lebih luas lagi seperti ketika kuliah atau bekerja. Lalu, kenapa harus jalan-jalan? Ketika saya kecil dulu, menghafalkan bahwa orang Buddha pergi ke Wihara untuk sembahyang bisa menempel di kepala. Tapi untuk Dudu yang lebih visual, jalan-jalan tentunya lebih menarik dan diingat ketimbang mendengarkan "ceramah" guru di kelas. 

Saya drop di Sekolah Gemala Ananda, Lebak Bulus di pagi hari, lalu saya pergi "me time" setelah menyaksikan anak-anak ice breaking dan selesai pembagian kelompok. Orang tua tidak boleh ikutan padahal saya ingin banget mencoba masuk wihara dan lithang di Indonesia. Ada baiknya juga karena saya jadi punya waktu untuk menyelesaikan PR tulisan. Sorenya, saya jemput di Pura Amrta Jati, Cinere. Sambil berjalan kaki pulang dari Pura, Amrta Jati, saya dan Dudu berdiskusi tentang pengalamannya hari itu. Ini cerita Dudu:


Pada hari Sabtu tanggal 16 September 2017, Saya belajar tetang perbedaan agama. Saya mengikuti wisata rumah ibadah untuk belajar lebih banyak tentang perbedaan agama. 
 
Pertama kita ke GKI Cinere untuk agama Kristen. Ada dua gedung ya itu gereja dan ruang serbaguna. Gereja digunakan untuk berdoa, menikah dan kebaktian, sementara ruang serbaguna digunakan untuk sekolah minggu. Kedua kita ke Vihara Ratana Graha untuk agama Buddha ada dama sala,dapur dan altar. Dama sala dan altar digunakan untuk sembayang, dapur digukan untak para bikhu makan. Ketiga ada Lithang untuk agama Kong Hu Cu. Di sana hanya ada Lithang untuk sembayang dan berdoa. Keempat Masjid Jami Imam Bonjol untuk agama Islam, ada ruangan ruang sholat dan musola. Ruang sholat itu adalah ruang utama untuk sholat jumat, dan musola untuk cuci tangan dan kaki. Kelima kita ke Gereja St. Matias untuk agama Katolik. Di sana ada ruang tabor, ruang pengakuan dosa, ruang umat sacristy, ruang ganti baju, ruang rapat, toilet dan ruang tamu. Dan terakhir ada Pura Amrta Jati. Di sana ada ruangan berlatih, panggung dan taman dewa. Ruang berlatih digunakan untuk belajar menari, Pangung untuk hal-hal khusus dan taman ada patung-patung dan symbol.








 




Anak-anak hanya berwisata dan melihat proses ibadah agama lain tanpa ikut serta di kegiatan yang bukan bagian dari agamanya. Selain menjelaskan hal-hal teknis, anak-anak juga dikenalkan dengan tokoh-tokoh masing-masing agama. Lalu di jam makan siang ada sesi diskusi (yang kata Dudu kurang lama karena harus terbagi dengan jam makan siang) dan refleksi tentang tempat-tempat yang sudah dikunjungi. Mungkin berbeda dengan tur serupa yang dibuat untuk anak yang lebih besar seperti anak SMA. Coba ada juga untuk orang dewasa ya, pasti seru jadinya. 

Intinya, bagi Dudu, belajar perbedaan itu penting “untuk tau banyak hal-hal penting dan unik.”

Lalu apa manfaatnya buat para Mama seperti saya, selain dapat "me time" seharian? Saya tidak perlu pusing mengajarkan perbedaan agama yang ada di Indonesia. Apalagi saya pemeluk agama tertentu, pasti ada bias-nya kalau menjelaskan agama lain. Seperti kata guru kelas Religious Studies saya di Amerika ketika murid-muridnya masuk kelas pertama kali, “kita di sini mempelajari agama dengan anggapan bahwa semua agama hanyalah teori.” Jadi tidak ada bias, tidak ada fanatisme. Nah, kalau diajarkan oleh masing-masing pemeluk agama di rumah ibadah masing-masing kan jadinya lebih netral. 




Kamu belajar apa Du? “Kita belajar hal-hal yang beda diantara agama, dapat teman baru, lalu bisa membuat persamaan. Misalnya dia berdoa, kita juga berdoa. Setiap agama juga punya tuhan masing-masing yang harus di-respect.”

Dan tidak perlu baper kalau Dudu ngefans sama agama lain. “Pura ternyata isinya hal-hal keren seperti patung dewa dan photo dewa,” katanya, sambil menambahkan bahwa salib di gereja Katolik lebih keren karena masih ada Tuhan Yesusnya.

Bicara perbedaan tidak ada habisnya. Begitu juga ngobrolin wisata rumah ibadah ini sama Dudu. Soalnya setelah hampir seminggu setelah hari acara, ketika saya tanya-tanya, si Dudu masih ingat. Semoga bukan hanya seminggu, tapi yang didapat dari kunjungan ke rumah-rumah ibadah ini bisa menempel seterusnya.

All photos courtesy of Komunitas Bhinekka. 

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.