31 August 2017

Cerita dan Harapan untuk MRT Jakarta

Weekend itu seperti biasa saya dan Dudu pergi ngedate. Di perjalanan, menjelang keluar jalan tol yang tersumbat karena lampu merah, saya iseng-iseng bertanya, “bagaimana ya supaya Jakarta tidak macet lagi?”

“Kalau Jakarta punya MRT yang selalu tepat waktu nanti juga tidak ada yang mau naik mobil lagi seperti di Singapura,” jawab Dudu cuek sambil main Minecraft di tabletnya. 


Mencoba naik MRT di Jakarta Fair


Naik busway dong. Naik Commuter Line juga sudah enak sekarang. Saya sering bertanya-tanya sendiri kenapa saya masih memilih menyetir mobil menembus kemacetan, dan bersusah-susah cari parkir. Saat ngobrol-ngobrol dengan adik saya, tentang pengalamannya naik busway, saya menemukan alasannya: saya tidak percaya transportasi umum Jakarta. Saya pernah naik busway ke satu interchange hanya untuk menemukan bahwa bus di koridor satunya sudah tidak ada lagi, padahal masih 30 menit dari jam koridor tersebut berhenti beroperasi. Masalahnya, ketika saya bertanya di halte tempat saya naik, si petugas meyakinkan bahwa bus di koridor sana masih ada.

Saya lalu kembali ke halte awal dan mencari jalur lain untuk tiba di halte dekat rumah saya. Perjalanan saya jadi ekstra 30 menit dan saya kehilangan kepercayaan dengan busway. Kalau busway yang menurut saya paling reliable dan comfortable saja begitu, bagaimana yang lainnya? Karena itulah saya masih memilih memegang kemudi.

Lalu apa yang saya tunggu dari MRT Jakarta? Transportasi umum yang dapat diandalkan. Karena itu kita harus bekerja bersama #UbahJakarta


Cerita #1: Anak sekolah

Naik MRT sama teman-teman adalah kenangan yang tidak terlupakan. MRT untuk anak-anak seusia Dudu bukan hanya sebuah mode transportasi umum tapi juga tempat berbicara dan bercanda dengan teman sebaya. Tahun lalu ketika kami pergi playdate ke Singapura, naik MRT adalah salah satu “tujuan wisata”. Anak-anak berhamburan ke gate otomatis untuk men-tap kartu yang dikalungkan lalu turun ke peron dan mencari kereta yang benar. Seru. Seperti permainan mencari harta karun.

Di dalam MRT, yang kebetulan adalah rute baru itu, anak-anak bisa naik di gerbong paling depan dan paling belakang lalu menikmati pemandangan ala wahana 4D Transformers Universal Studios. MRT memberikan anak-anak kesempatan untuk mandiri tanpa membuat orang tuanya khawatir.

Dudu paling kagum dengan kenyataan bahwa anak SD bisa naik MRT bersama teman-temannya. Men-tap kartu sendiri dari sekolah, duduk bercanda di kereta, lalu masing-masing turun di stasiun berbeda. Begitu juga dengan bus. Ketika sang Mama hanya mengantar anak jalan sampai halte bus dan si anak bertemu teman-temannya untuk naik bus umum bersama-sama sampai sekolah.

“Kalau begitu seru, Ma. Aku tidak merepotkan Opa untuk mengantar dan menjemput sekolah lagi. Aku bisa bertemu teman-temanku jadi seru di MRT.”

Sabar, Du. Jakarta sedang berubah.



MRT bisa membantu anak mandiri dan bersosialisasi
Seandainya ini terjadi di Jakarta? Ya kita sebagai orang tua harus berubah dengan merelakan anak belajar naik MRT, meninggalkan kenyamanan bangku mobil atau kemudahan membonceng motor. Sudah siap?

Cerita #2 Konser Band Korea

Libur Lebaran kemarin adalah kali kedua saya menonton konser band Korea di Singapura. Yang pertama tahun 2012, di mana saya mendapatkan undangan khusus sehingga ada fasilitas pengantaran dan penjemputan dengan mobil. Ketika konser bubar, saya menyaksikan kerumunan orang perlahan menghilang di balik stasiun MRT. Tidak ada stuck menunggu berjam-jam karena mengantri bayar parkir, dan tidak ada jalanan macet karena mobil yang membludak meninggalkan area konser.

Bahkan ketika Coldplay konser di Singapura, MRT sudah siap dengan segala pengaturannya, menyiapkan karcis darurat di pintu masuk dan mengalihkan pembayaran ke stasiun tujuan sehingga (kabarnya) tidak ada penumpukan berarti.

Saya lalu merasakan sendiri pengalaman bubaran konser dengan MRT ketika menyaksikan CN Blue di Jurong East. Karena lokasi MRT yang sudah merupakan interchange, penumpang MRT yang searah dengan saya pun tidak banyak. Sebagian naik bus, sebagian lagi naik kereta ke arah yang berlawanan. Saya kemudian menyaksikan satu per satu penonton konser turun di stasiun berbeda.

Seandainya ini terjadi di Jakarta? Saya yang terbiasa naik mobil harus rela berangkat naik MRT, turun di stasiun Istora (asyikkkk) dan berjalan kaki masuk GBK. Atau di Kemayoran atau di BSD kalau MRT kelak sudah bisa sampai ke dekat ICE sana. Tidak ada lagi pusing cari parkir di mana, khawatir terjebak bubaran konser yang berjam-jam dan membayar parkir yang bisa puluhan ribu. Tapi ya itu, saya harus rela jalan kaki juga.

Kalau ada MRT di stadion
kan enak mau nonton konser atau nonton bola
Berubah memang harus dari diri sendiri.

Berubah adalah hal yang paling sulit tapi Kota kelahiran saya sekarang ini sedang berusaha berubah. Sedikit demi sedikit perubahannya mulai terasa dengan Simpang Susun Semanggi yang sudah menolong saya tidak terlambat les Bahasa Korea dan jalur busway Ciledug-Tendean yang mirip transportasi masa depan di film Doraemon. Lalu ada beberapa ruas parkir yang mulai menggunakan mesin untuk membayar. Ketika Jakarta berusaha mengembalikan kepercayaan pengguna transportasinya, saya juga harus membuka hati untuk kesempatan kedua. Kalau tidak namanya bukan bekerja bersama #UbahJakarta dong.

Ketika MRT hadir kelak, saya harus mulai berubah, membuka hati untuk transportasi umum Jakarta dan mulai mengumpulkan bahan untuk cerita seperti dua kisah di atas. Caranya? Ya dengan naik MRT Jakarta.

1 comment:

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.