15 February 2014

Main di “Luar”

Nungguin anak bermain di salah satu playground di Jakarta, pandangan saya terpaku pada sebuah keluarga yang duduk di pojok cafe. Sebuah keluarga biasa, bapak, ibu, 3 orang anak dan seorang suster. Cafe tersebut memang disediakan oleh pihak playground agar orang tua yang menunggu anaknya bermain bisa bersantai juga. Tapi ini kenapa satu keluarga kumpul di sana? Anteng, duduk diam... ngga ngobrol satu sama lain juga.

Selidik punya selidik, mereka lagi asyik main game di tablet masing-masing. Si Ibu pegang laptop. Anak yang besar main ipad dan adik-adiknya berebutan tab yang lebih kecil. Si bapak? Bengong aja. Sambil sesekali mengarahkan si kakak biar main gamenya ngga kalah. Suster pun jadi main hape, entah sms-an sama siapa.

LAH?

Miris memang. Di saat indoor playground menjamur di mall-mall di Jakarta, anak-anak malah semakin kekurangan gerak badan. Masalahnya masuk playground itu kan bayar, mau main bayar, pendamping bayar, pesan makanan bayar... trus untuk apa masuk ke playground kalau hanya untuk duduk-duduk sambil main game?


Andrew paling suka main di Playground
Saya teringat campaign salah satu restoran fast food yang menggerakan anak agar main di luar... padahal di resto itu ada banyak free computer dan internet tersedia buat main game (saya dan anak saya sering nongkrong di sana haha). Tapi wallpaper computer itu semua menggalakan anak agar main di luar. Sampai-sampai ada lomba fotonya juga. Segitu kurangnya kah kita bermain di luar?

Okelah, di Jakarta taman sudah minim (meski sekarang mulai banyak lagi) dan banyak tempat ngga bersih (saya juga geli ke sana) tapi kan ada indoor playgrounds yang siap mendukung anak yang mau manjat-manjat (instead of pohon), lari-larian sampai permainan macam flying fox juga ada. Mahal? Well, kalo memang mahal, bisa kok ke playground murah meriah (di Pasaraya ada Pasya yang masih terjangkau dibandingkan playground franchise macam lollipop, chipmunks, dll) atau mampir saja ke fast food resto terdekat (atau ke flagship resto mereka, alias yang besar-besar macam di Kemang atau Alam Sutra), playgroundnya lebih dari cukup untuk membuat anak “bergerak”.

Saya pribadi sudah melupakan yang namanya bersepeda keliling komplek seperti yang biasa saya lakukan waktu kecil dulu. Jalanan komplek saya, selain rusak dan berlubang, bahaya disambar pemotor dibawah umur tanpa sim tanpa helm juga besar. Sudah ngga aman. Tapi tetap saja bukan berarti gadget ‘naik pangkat’ dari alat komunikasi menjadi permainan bagi anak. Kalau sudah keluar rumah, gadget disimpan... dan hanya digunakan saat saya terpaksa membawa dia meeting atau nyalon dan membutuhkan dia diam untuk kurang lebih 2 jam. Selain itu saya ngga mau waktu saya dan waktu bermainnya direbut sama benda yang harus selalu dicharge itu.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.