27 January 2014

My Coffee My Personality

Most #DateWithDudu locations involve coffee shop at some point. I'm an avid coffee drinker and we often goes to coffee shop on the weekend to do homeworks. Me and my black coffee. Andrew with his plain milk (sometimes steamed). 




So, when I found this article talking about coffee and personality, I immediately clicked on.

Research found that the black coffee drinkers were straight up, straightforward and no-nonsense individuals. Black coffee drinkers were found to be "purist' and prefer to keep things simple. They were found to be patient and simple but also set in their ways and resistant to making changes.Being quiet and moody were also common traits found in black coffee drinkers.

True!

I hate things when it's complicated. When my son goes on his usual drama, I usually says "Gitu aja kok ribet sih?" 

 
Latte drinkers are more relax, generous but sometimes too comfortable with themselves.
Frozen, blended and Frappuccino drinkers are trendsetters, socially bold but reckless.
Cappuccino and decaf/soy/specifically order coffee drinkers like to be in control but tend to worry too much about everything
Instant coffee drinkers likes to procrastinate, laid-back and taking life one step at a time

Unfortunately, my 7-year-old isn't a coffee drinker. Despite having a mom with constant sip, and him as a baby playing with coffee paper cups, he'd close his mouth and nose with his hands once I put my mug on the table. He still orders his usual plain milk. 

The same survey says that "non-coffee drinkers need to join the world of grown ups." I can assure you, I'm not in a hurry to see Andrew order his first cup of coffee anytime soon. If he does, I hope it'll be black just like mine.

18 January 2014

#KEBDiMataku

Sebulan terakhir ini ada logo cantik nongol di Blog saya. Soalnya akhirnya saya memberanikan diri mendaftar di Kumpulan Emak2 Blogger alias KEB dan Srikandi Bloggernya. (HORE!)

Selama ini bolak balik ngecek KEB tapi hanya jadi silent reader dan follower tanpa secara resmi mengajukan diri jadi bagian dari komunitasnya. Biasalah, saya memang begitu, punya akun ini akun itu di web lain juga cuma login buat baca-baca ngga ada postingannya. Trus Srikandi Blogger 2013 lewat begitu aja. Nyesel deh. Meskipun saya tau ngga bakalan menang (iyalah, posting juga masi seadanya), tapi berani daftar itu udah sesuatu banget.

Alkisah, bulan lalu saya tau-tau nekat ngirim data buat join di grup KEB dengan tekad memperbaiki rekor postingan saya yang sebulan suka nggak nyampe satu. 
Apalagi yang ini. Namanya saja Emak-Emak Blogger, malu dong kalo ngga posting. Malu juga dong sama-emak-emak yang lain yang bisa posting banyak meskipun sibuk, bisa nulis tentang apa saja dan bagus-bagus hasilnya. Dapat tambahan ilmu tentang nge-blog, tentang kompetisi ngeblog dan yang pasti dapat teman baru. Bisa kenal blog bagus-bagus (dan Emak-Emak penulisnya yang hangat banget sambutannya) rasanya happy banget. Membuktikan kalau kita Emak-Emak ngga kalah sama blogger-blogger yang lain (eaaa). 

Dan karena saya kelewatan postingan serentak di Hari Ibu, yang kali ini ngga boleh kelewatan lagi.

Jadi, KEB di mata saya adalah satu motivasi untuk terus menulis, satu alasan untuk memposting secara rutin dan satu inspirasi untuk membuat cerita. Happy Birthday KEB, semoga bisa terus eksis dan menginspirasi kita untuk berprestasi selamanya.


Bermain Dengan Coklat

Banjir membuat Andrew libur mendadak. Saya bingung mau ngapain ya di rumah? Untung saya masih punya golden ticket hasil menang lomba blog Chocokid Littletown. Jadilah hari ini kita ke MOI dan Andrew bisa bermain sepuasnya dengan coklat.

I got the GOLDEN TICKET!

Meskipun ngga suka coklat, Andrew tetap semangat masuk ke “dunia coklat”. Dia sendiri yang masuk menukarkan golden ticket dan mengikuti mbak yang mendampingi keliling kota coklat tersebut.

Emang ada apa sih di Chocokid Littletown, Du? “Ada tempat buat si sapi, yang bisa keluarin susu coklat, ada tempat buat celup-celup marshmallow ke coklat, ada tempat buat gambar-gambar coklat dan tempat buat eskrim.”

Masuk ke area Chocokid, Andrew dapat apron dan chef hat berwarna orange. Keren amat, serasa chef beneran. Setelah cuci tangan, Andrew mencoba permainan memerah sapi. Sapi yang ini beda, soalnya susunya rasa coklat... dan langsung segelas habis diminum sama Andrew. Dari situ kita menuju ke Chocolate Fountain dan mencelupkan 3 tusuk marshmallow ke dalamnya. “Ini kesukaanku, Ma.” Tapi dia hanya suka mainnya aja, yang makan hasilnya tetap saya haha.

Kegiatan di Chocokid Littletown

Setelah itu , Andrew yang biasanya ‘heboh’ mendadak duduk manis mendekorasi teddy bear, kelinci dan pohon natal.
Dudu: Ma, ini apa?
Mama: Coklat.
Dudu: Kok warnanya hijau? ( sambil menunjuk ke pohon natal)
Mama: Menurut kamu kenapa?
Dudu: Soalnya coklat hidupnya di deket tanaman, jadi dia ketularan hijau.
HAHAHA ada-ada aja.

Yang seru lagi, Andrew si pencinta kebersihan, tangannya kena coklat.

“Jilat aja Du, itu coklat kok.” Kata sih mbak pendamping.
Andrew ragu-ragu. Ya dia ngga suka coklat. Tapi akhirnya dijilat juga.

Trus dia ketagihan.... soalnya coklatnya enak.

Selesai dengan chocolate decorating, Andrew pergi ke tempat es krim untuk menghias es krim. Saya kebagian membereskan hasil karyanya yang akan dibawa pulang. Ada banyak banget: si marshmallow chocolate fountain, trus 3 coklat yang sudah di dekorasi, dan ada eskrim juga. Barang-barang chocolate decorating yang belum selesai dikerjakan boleh dibawa pulang dan dilanjutkan di rumah, meskipun coklat cair yang buat menempelkan hiasan malah dimakan Andrew (“sejak kapan kamu doyan coklat?” protes saya yang juga kepengen tapi jaim haha).

So here we went home with a bag full of chocolate boxes and two happy hearts. Berkat Chocokid Littletown liburan dadakan jadi menyenangkan dan kita ngga terkurung di apartment bersama gadget karena menunggu banjir surut.

“Kapan-kapan kita harus kembali ke sini ya Ma.”
Pasti dong!

11 January 2014

Princess, Bajak Laut dan Alien

Masalah rumit dilihat dari sudut pandang anak dan diceritakan melalui narasi yang sederhana.


Dapat ajakan nonton film ini, saya senang, soalnya setelah Frozen dan Outback berlalu, saya lagi berencana ajak anak saya nonton Ronin, The Hobbit atau konser G-Dragon di bioskop (Jawaban Dudu: “Ih, Mama aja nonton Korea sendiri sana.”).
"Du, mau nonton film Princess, Bajak Laut dan Alien ngga?"
"Mau Ma!"
Jadilah hari Minggu itu pagi-pagi kita sudah nongol mondar mandir dengan manis di Rasuna Epicentrum.

At the movie premiere

Film apa sih ini?

Princess, Bajak Laut dan Alien adalah satu film yang terdiri dari 4 cerita. Pernah nonton Love Actually atau New Year’s Eve? Ya kurang lebih begitu idenya, walaupun keempat ceritanya ngga tersambung-sambung amat. Banyak pelajaran moral yang bisa dipetik dari film ini dan ngga terasa berat karena terbagi dalam empat cerita. Semuanya bisa jadi renungan (dan bahan ledekan saya ke Andrew kalau ada adegan yang mirip sama kelakuan dia).

Cerita 1: Misteri Rumah Nenek
Dua orang kakak beradik yang sering bertengkar datang ke rumah neneknya di desa untuk menginap. Tak disangka, di saat mereka tinggal berdua di rumah karena si nenek pergi ke kota membeli susu dan si supir/penjaga rumah pergi mengantar istri ke bidan, mereka harus berhadapan dengan penunggu rumah yang lainnya.

Cerita 2: Babeh oh Babeh
Seorang anak jawara main bola merasa malu ketika harus menceritakan di depan kelas bahwa ayahnya adalah seorang penyanyi dangdut. Sang ayah kemudian melamar pekerjaan kantoran. Namun apakah hal tersebut menyelesaikan masalah si anak? 


Dudu dan si "Penyanyi Dangdut"
Cerita 3: Kamu Bully aku B-boy
Cara cerdik menghadapi bullying adalah tidak dengan kekerasan. Seorang anak SD belajar B-boy yang sangat disenangi almarhum ayahnya dan menemukan bahwa sebuah tarian dapat membawa persahabatan.

Cerita 4: Princess, Bajak Laut dan Alien
Seorang anak kutu buku memberikan sudut pandangnya tentang ‘cap’ yang diberikan pada anak. Ketika teman-teman sebayanya memanggil dia aneh, orang dewasa bilang dia berbeda. Semuanya berubah ketika ada seorang putri dari rumah tetangga memberikan pandangan yang berbeda.



Saya dan "Alien" Kecil Saya

Film ini membuka banyak diskusi dengan anak saya.
Mama: Kalo Mama penyanyi dangdut gimana?
Dudu: Ngga mungkin, aku kan pernah ikut Mama kerja. Kantor Mama banyak komputernya.
Mama: Emang kalo Mama penyanyi dangdut kamu malu?
Dudu: Iya. Soalnya aku ngga suka dangdut.
Mama: Kalau pekerjaan Mama sekarang kamu malu ngga?
Dudu: Nggak.
Mama: Kenapa?
Dudu: Soalnya aku ngga tau Mama kerja apa....
Nah kan... anything but penyanyi dangdut.

Makanya favorit saya adalah cerita kedua karena mengusung masalah sosial juga (Yah, selain karena acting Tora di sini juga oke banget sih). Toh karakter si Tora dalam film itu penyanyi dangdut terkenal dan uangnya banyak (untuk level penyanyi dangdut RT RW). Yang jadi masalah hanya ‘dangdut’nya. Andrew malah ngga suka: “Lucu sih filmnya, tapi aku ngga terlalu suka.” Kenapa? “Karena penyanyi dangdut.” Nah kan anak saya juga stereotipikal. Kebayang gimana anaknya Inul sama anaknya KD kalo diskusi suatu hari nanti. Hahaha...

Tapi Andrew beda lagi. Dia paling suka cerita pertama karena berbau misteri dan anak kecil yang jadi jagoan/detektifnya. “Karena itu seram” katanya sambil nyengir. Sementara buat saya film pertama itu cheesy banget hahaha. Tapi kita sama-sama setuju kalau film ketiga itu yang paling membosankan (maaf ya Om Rizal). “Habis hanya menari-nari saja sih, Ma.”

“Film keempat tentang kisah cinta,” kata Dudu. “Tapi kenapa sih teman-teman Troy bilang dia aneh sementara Papanya bilang dia berbeda?” Aneh dan berbeda. Dulu saya paling takut si Dudu yang rambutnya coklat dan matanya besar dibilang teman-temannya. Belum lagi dia anaknya serius dan sering bertingkah terlalu dewasa seperti si tokoh utama film keempat.

Mama: Kamu dibilang aneh ngga sama teman-teman kamu?
Dudu: Nggak.
Mama: Mama ngga bilang kamu berbeda?
Dudu: Nggak...

Diam sejenak soalnya dia sambil main game.

Dudu: Harus berbeda dong. Kalau sama nanti aku tertukar sama anak lain gimana?

Eaaaa...



"Alien" kecil yang suka baca buku

09 January 2014

Biarin Aja (Bagian 2) "Tapi Aku Kan Cuma Mau Bantu..."

Pernah dapet protes itu dari anak?
Saya sering.

Saat anak saya menjatuhkan barang yang dibawanya, menumpahkan makanan bahkan memecahkan gelas yang sudah saya bilang "Mama aja yang bawa, Du, ntar pecah loh". Giliran kejadian, saya marah, dia protes "Kan aku cuma mau bantu Mama."

Lalu muncullah dilemma itu: to help or not to help?


Aku mau bantu Mama bawa koper dong!
Membiarkan anak membantu kadang membutuhkan extra kesabaran... dan extra energi untuk membereskan semuanya yang sering malah jadi kacau. Belum lagi kalau kejadiannya kayak kemarin. Sudah anak memecahkan gelas, kaki-nya kena beling pula. Sudah harus nyapu, harus ngurusin anak yang berdarah. Hal yang harusnya selesai dalam waktu 5 menit jadi selesai dalam waktu 30 menit.

Tapi saya sudah memutuskan untuk membiarkan si anak membantu semampunya. Kalau dia mau bantu bawa tas silahkan, bantu bawa gelas juga boleh tapi hati-hati. Itu pun kadang masih salah... soalnya apa yg menurut saya dia ngga mampu lakukan, menurut dia gampang aja dilakukan. Trus kejadian deh kayak kasus gelas itu.

*fiuh*

Tapi daripada dia berhenti membantu... menyerah menolong orang karena selalu dilarang, atau takut melakukan kesalahan saat membantu orang, saya lebih baik membereskan a mess he made for helping me. Soalnya bukan seberapa besar bantuan yang diberikan yang penting, tapi seberapa besar niat Andrew untuk membantu orang. Banyak yang akhirnya bilang anak saya terlalu baik. Dia bisa mendadak turun tangan membantu si Opa bawa tas, meskipun pas dia bawa tasnya malah jatuh trus kotor. 

Ada kalanya bantuan itu salah dan saya takut Andrew dibilang kaypoh (suka ikut campur urusan orang). Misalnya kalau ada anak nangis lalu Andrew sibuk menghibur. Atau kalau ada anak yang nakal lalu dia mengadu ke Miss wali kelasnya. Saya protes keras takut dia dicap tukang ngadu.
Mama: Nanti kamu kayak smurf kacamata. Tukang ngadu.
Dudu: Tapi aku cuma mau bantu Miss. Kasian anak murid Miss nakal-nakal semua.

Pokoknya tidak ada kata terlambat atau gagal dalam menolong orang lain. Semua cara halal!

Kayak kejadian baru-baru ini.
Melihat saya kerepotan menata makanan buat bekal road trip, Andrew buru-buru membantu, mencarikan sebuah kotak makan diantara tumpukan tas yang sudah rapi di bagasi mobil. 
Mama: Du, ngga usah, nanti berantakan lagi.
Dudu: Bentar, Ma. Hampir ketemu nih!
Mama: Ngga usah.
Dudu: Yah Mama. Kan aku cuma mau bantu.
Dan dia terus berjuang mencari kotak bekal itu (padahal di dapur juga ada). Saya yang mau ngomel karena pasti harus menata ulang bagasi mobil, ngga jadi marah begitu dia kembali bersama kotak makanan sambil tersenyum ceria karena berhasil membantu orang.


Begitu saya mau protes soal akibat dari bantuannya....
 Saya harus menghadapi muka seperti ini:
"Kan aku cuma mau bantu..."

Gagal deh marahnya...
Ya udah biarin aja



06 January 2014

Biarin Aja (Bagian 1): “Ini warnaku...”

“Du, awas gunting itu tajem.”
“Du, itu catnya berantakan. Gimana sih mewarnainya? Masa pohon warnanya biru?”
“Du...”
Akhirnya anak saya bohwat dan ngambek karena saya terlalu cerewet.


Ikutan acara menggunting menempel pas usia 3 thn
 “Mama pipi gembul yang cerewet.” Begitu katanya. Cuma-gara-gara saya memperingati dia tentang bahaya menggunakan gunting. Padahal gunting itu juga gunting yang aman untuk anak-anak, yang saya beli karena khawatir kalau Andrew pakai gunting beneran... tapi tidak mau membatasi kretivitasnya.

Kadang kita gemes banget ngeliat si anak menempel ngga rapi, mewarnai keluar garis, menggunting ngga sesuai garis putus-putusnya dan menggambar seenaknya. Tapi kita harus ingat bahwa well, yang menggambar kan mereka. Ya terserah mereka dong mau pake krayon yang mana. Jadi cobalah menahan diri, tarik nafas panjang dan biarkan anak-anak berimajinasi sesuai apa yang mereka bayangkan. 


Serius bekerja at Kiddy's Place
Believe it or not, it took me years to let go. Membiarkan pohon berwarna ungu atau awan berwarna hijau (memangnya mau ada tornado?). Terutama waktu dia ikutan lomba mewarnai dan nangis karena kalah. Dan sekarang, setelah dia lulus TK dia mulai mewarnai dengan warna yang "benar" (menurut pandangan umum itu warna yang benar) tapi dia juga punya dunia imajinasi di mana semuanya dia yang atur. Saya ngga pernah mengikutkan dia lomba mewarnai.

So akhir tahun 2013 lalu, saya mampir untuk pertama kalinya ke Kiddy's Place, tempat yang mewarnai gambar itu. Di saat semua ibu-ibu sudah duduk manis bersama toddler mereka, anak saya sudah SD dan baru pertama kali mencoba mewarnai.

Kacau?
Ngga juga tuh ternyata. Kita seru mewarnai berdua, belepotan berdua dan puas banget sama hasilnya. Meski kali ini saya yang harus minta ijin boleh ngga sepatu ice skating itu diwarnain hijau (ya boleh lah,hijau kan warna kesukaan Dudu).

02 January 2014

Beda Tinggi Beda Persepsi

Suatu hari, pada saat anak saya berenang, ada anak yang tenggelam. Menyadari hal itu, ayah si anak langsung nyemplung ke kolam renang untuk menolong anaknya. Begitu anaknya selamat si anak dimarahi karena kurang hati-hati padahal sudah berulang kali dinasehati soal berenang. 

Dari perspektif saya sebagai orang tua hal itu wajar terjadi. Anak yang harus kita “selamatkan” karena nekat melakukan apa yang kita larang. Tapi ternyata Andrew punya pandangan berbeda. “Kasian ya, Ma. Sudah tenggelam, dimarahi lagi sama ayahnya.”

Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga.
Tapi benar juga ya.






Banyak hal dalam hidup ini yang kita lihat dengan mata kepala kita sebagai orang tua ternyata berbeda dengan apa yang dilihat anak-anak kita di bawah sana. Ketika anak saya bayi, dokter anak saya memberi nasihat bahwa anak senang bereksplorasi. Kalau dia masukkan sepatu ke dalam mulut itu karena dia pengen tau rasa sepatu. Bukan karena dia mau makan sepatu. Kalau dia mencoret tembok, dia pengen tau apa yang terjadi bila temboknya berwarna... termasuk reaksi kita (yang biasanya ngomel).

Coba bayangkan yang ini. Seorang pengemis di jalan, dengan wujud mengenaskan meminta uang sambil menyodorkan topi. Anak saya otomatis kasian. Saya, karena sudah baca berita bahwa banyak pengemis menolak dikasi kerjaan layak sama pemerintah karena penghasilan mereka lebih dari UMR setempat, malas memberi pada pengemis. Buat anak saya yang belum mengerti politik dan pemerintahan, memberi kepada pengemis ya memberi kepada orang lain. Ngga beda.

Sekarang anak saya 7 tahun, sudah pinter ngeles, pinter ngejawab (yang sering dibilang ngga sopan sama generasi tua) dan saya belajar bertanya dulu sebelum marah. Soalnya anak saya punya motto “Kalo Mama cegah, saya tetap lakukan soalnya saya penasaran. Dimarahi itu soal belakangan.”

Andrew pernah mewarnai tembok kamar mandi dengan cat air (yang bikin papa saya stress), waktu saya tanya jawabannya enteng. “Lagi belajar campur warna, Ma.” Ya memang sih, di tembok itu ada merah dicampur biru, dicampur hitam... tapi kan... *sigh*

Sekali waktu dia kena. Kejepit pintu atau tersiram air. Saya tersenyum “syukurin.”
Dia protes, “kok syukurin? Mama ngga sayang sama aku ya?”
“Syukurin. Sapa suruh kamu ngga dengerin Mama. Sekarang kena akibatnya ya Mama ketawain deh. Apa mau dimarahin aja?”

Dia manyun. Saya tertawa.

Sudah jatuh tertimpa tangga ya, Du?