27 December 2012

Candi Gedong Songo: Heavenly Temples


Liburan kemarin saya "Hiking" sama anak. 
Serius? 


Candi Gedong Songo nomor 2
Yup. My son is only 6 years old, but he has this urge about nature that often takes over all the planned holiday activities. So, this time, instead of going shopping frenzy at the nearby mall (yeah, that's the plan), we turned left to Bandungan and decided to go up the Ungaran mountain to see Candi Gedong Songo. 

Terletak 10 menit dari kota Bandungan (sekitar 45 km dari kota Semarang), Candi Gedung Songo merupakan kompleks candi Hindu peninggalan Wangsa Syailendra yang terdiri atas 9 buah candi. Candi pertama yang terletak cukup rendah menjadi favorit wisatawan dan menjadi tempat pangkalan kuda dan penjual tikar. Perjalanan menuju candi lainnya cukup jauh dan mendaki sehingga banyak wisatawan yang memilih duduk di taman sekitar candi pertama. 


Just like many other tourist spots we visited that week, this one isn't that expensive either. It costs Rp. 7500 to get in and explore as much and as long as you want. Kenapa saya bilang "as long as you want"? Soalnya candi-candi yang ada di kompleks candi ini tersebar di beberapa bagian gunung dan kami membutuhkan sekitar 2 jam untuk naik ke atas, istirahat di warung, foto-foto dan turun lagi ke bawah. Turunnya lebih cepat soalnya kami berlomba dengan gerimis yang mulai datang hahaha.


Jalur turun ke bawah
Kalau tidak kuat hiking, ada banyak kuda yang bisa disewa untuk naik turun dengan harga cukup terjangkau. Satu kuda bisa dinaiki berdua (1 dewasa 1 anak). Selain menikmati udara yang segar dan pemandangan yang indah, anda bisa mengajak anak berkuda juga. Rute yang dibuat juga memungkinkan anda menikmati pemandangan berbeda karena anda tidak naik dan turun dari jalan yang sama. Banyak warung dan tukang jualan (mulai dari minuman sampai tempe goreng dan indomie dengan harga masuk akal) membuat pendakian jadi lebih mudah karena anda bisa berhenti kapan saja (dan kalau hujan juga bisa berteduh kapan saja). Saya berhenti di tengah, di hot spring (pemandian air panas) yang terletak di tengah tempat wisata. 

Jalan keluar candi melewati tempat penjualan sovenir dan warung lesehan yang rata-rata menyediakan sate kelinci. Harga makanan yang cukup murah bisa menjadi alternatif ketika jam makan siang tiba daripada turun mencari makan siang di Bandungan atau Ungaran. Yang paling bermasalah adalah minim-nya tempat parkir untuk kendaraan roda 4. Jika anda berkunjung pada hari Minggu/Libur Nasional, sebaiknya datang sebelum jam 9. 


I really love this place.

Unfortunately, just like many other cultural heritage spots in Indonesia, trash and vandalism are obvious on each temple. My son started reading the "sign" created by in-love-couples or school students visiting the site on their leisure/outing days and my heart sank. Too bad.



Andrew and his "hiking" tools






10 December 2012

Coba Dengarkan Sejenak


Sebagai pengguna mobil di Jakarta, saya akrab dengan radio. Setelah anak saya mulai bicara, radio jadi sahabat akrab teman seperjalanan saya itu. Di mobil saya, meskipun radio menyala, saya sering tetap mengobrol dengan siapapun yang sedang semobil. Suara penyiar dan lagu yang diputar seringkali hanya menjadi latar belakang.

Sampai suatu saat, ketika saya sedang ngobrol seru dengan sahabat saya, anak saya protes. “Mama dan Tante Nia diam dong. Kan aku sedang mendengarkan radio.” Saya jadi merasa tertegur. Setelah dipikir-pikir, memang radio ada untuk didengarkan, bukan hanya saat kita semobil dengan orang-orang yang ‘kurang akrab’ atau sebagai penghilang kekakuan di mobil. Setelah ‘teguran’ itu, untuk beberapa menit saya diam, mengamati bagaimana anak saya tertawa mendengar lelucon penyiar dan menyanyikan lagu-lagu yang diputar (yang ternyata dia hafal!).

Sejak saat itu, radio adalah peringatan buat saya (yang emang bawel ini) bahwa saya perlu berhenti dan mendengarkan apa yang terjadi di sekitar kita. Dari radio, saya belajar menjadi seorang ‘pendengar’.


Postingan ini diikutkan lomba menulis di Heartline FM Nov 2012

28 July 2012

Antara Sop Bakso Ikan dan Ayam Goreng


Anak saya sebenarnya bukan anak yang susah makan. Tapi dia pilih-pilih makanan. Makan bisa sehari 5x, banyak pula porsinya, tapi lauknya ya itu lagi itu lagi. Jadi kalau ditanya apa anak saya termasuk picky eater, jawabannya pasti: IYA.


Sebagai ibu bekerja, kendala terbesar saya adalah memastikan kalau “si pemilih makanan” ini mendapatkan nutrisi lengkap. Memang saya bisa menentukan menu, tapi pelaksanaan di lapangan sepenuhnya diserahkan kepada pembantu rumah tangga. Yang ada, begitu sampai rumah dan dapat laporan “Bu, tadi anaknya cuma mau makan ayam goreng aja. Sayurnya ngga disentuh”, saya yang pusing.


Jadi, saya harus super kreatif. Mengacu kepada piramida makanan (yang untungnya saya ingat dari pelajaran biologi SMP hihihi), saya mulai bikin menu yang bisa memenuhi angka kecukupan gizi (AKG). Awalnya pusing, akhirnya saya yang ketagihan. Menyiapkan menu makanan seperti main puzzle. Saya juga jadi sering browsing resep, berburu cetakan dan piring makan lucu.


PAGI: Anak saya ngga suka keju. Oke. Berarti pagi saya siapkan roti bakar, telur, dan susu segelas. Roti bakar yang dibentuk bintang kecil-kecil dan bisa dia makan seperti cemilan. Kalau bosan tinggal ganti cereal dan yogurt. Cerealnya juga diganti-ganti, kadang bintang kadang bulat supaya anak tidak bosan.


SIANG ngga mau sayur? Beres, masukin aja wortel dan kacang panjang ke dalam sup bakso kesukaannya. Satu cara membuat makan sup lebih fun adalah dengan mengajak anak ‘adu memancing’ wortel yang dipotong bulat pakai sendok yang untuk bikin es buah itu loh. Saya dan anak sama-sama menggunakan sendok kecil saat makan siang bersama di hari Sabtu, adu cepat menghabiskan wortel di dalam sup.  


MALAM minta ayam goreng? Saya minta si mbak membuatkan nugget ayam… yang kadang-kadang diganti dengan ikan. Karena dibuat nugget, dia jadi ngga berasa dan tetap makan dengan lahap. Biasanya kalau saya sempat membuatkan sendiri nuggetnya dan anak saya tahu itu masakan saya, dia jadi semangat makannya. Buah saya jadikan cemilan (meski saking pemilihnya, dia hanya mau pisang, apel dan jeruk).


At the end of the day, susu yang paling berpengaruh. Anak saya sampai usia 4 tahun masi suka bangun malam minta minum susu karena lapar. Sekarang usia 6 tahun, dia masih minum susu berkali-kali sehari, termasuk makan sereal pakai susu, sampai si Mbak punya laporan rutin tiap hari Sabtu pagi: “bu, susu-nya Andrew habis.”


Saya mencari susu yang membantu memenuhi nutrisi anak 100% sesuai dengan AKG. Kenapa? Karena itu tadi. Saya sehari-hari tidak di rumah. Jadi meski saya sudah kreatif membuatkan menu, siapa yang tahu apa yang sebenarnya anak saya makan? Apakah faktanya sesuai dengan laporan si Mbak begitu saya pulang kantor? Kalau ada susu yang bisa dipercaya, yang bisa membantu melengkapi nutrisi anak, saya jadi lebih tenang meski anak saya cenderung minta sop bakso dan ayam goreng kesukaannya.



www.meadjohnson.co.id

Blog ini diikutkan dan terpilih sebagai salah satu pemenang lomba blogging infobunda & Sustagen dengan tema "Picky Eater". Terima kasih Infobunda dan Sustagen, hadiahnya berguna loh. Postingan asli: http://www.infobunda.com/pages/blog/showblog.php?blogid=3393#ixzz2PDD2QN00



15 June 2012

Competition for babies? Are you kidding me?

Fashion Show isn't just for girls

When I found a certificate saying my youngest brother won a healthy baby competition, that got me. How come a 6-month-old baby got pulled into a competition? And how can you compare one healthy baby to another? Now, a parent myself, I started to see what it means to have a trophy on your shelf.

I was never competitive.
I don't have the confidence nor the courage to handle being a loser.
But my son is different. He likes to compete, he likes to win and whenever he loses, he tries harder. I was surprised (he must have inherited that from his dad).

Following him through different stages and different dramas this past 4 years, I started to see how competition is beneficial (or at least positive) for me and my son.

(1) We find time to bond. Being a working mother, I rarely spend time with him at home. So whenever we sat together waiting for his turn on a fashion show competition, we found time to talk and share how our week is going. We got to pick clothes together, practice together and I got to support him from the side. He learnt that I will be there with my camera and despite my absence during the week, I will always be there to support him on competition.

(2) Socialize. I got to socialize, meeting other competition-mania moms and bond with them. From one stage to another, we ended up as friends, sharing stories way beyond photo and fashion show contests. it leads to playdates and friendship. A good thing... especially when my son has no brothers/sisters to share his toys with.
Finding new friends


(3) Competition teaches how to win, how to lose and how to try again. Not just for the kids but for the parents as well. Many experts agreed on how competition on regular basis will benefit the children. Competition teaches kids problem-solving skills, set goals, and learn about their limitation. Parents learn how far they should push the children and how to cope with loss - because the children's loss is the parents' loss as well. And sometimes parents take loss harder than their children (who in 10 minutes already forget about it). In my case, it's an easy way to teach my son that he doesn't always get what he wants. Since he's currently the only grandchild my parents have, we can safely say he got almost everything he wants.

(4) He learnt to listen. Kids have short attention span, so it's good to have him focus during the briefing before each competition and get him to listen when his name/number is being called. He learnt that if he miss, he won't have another chance and he'll lose not because other people do better but simply because he didn't listen.

But well, my son is 6 years old. I can't speak for the babies.


Andrew at Parenting Indonesia Cover Hunt

31 May 2012

Nyaman apa malah repot?

Sebenarnya banyak kemudahan yang ditawarkan oleh bandara dan airlines untuk penumpang yang bawa anak kecil. Jangan langsung diambil... liat-liat sikon dulu ya...

First long-haul flight at 10mth
Situasi: Yang punya bayi or anak kecil boleh naik pesawat duluan
Pertimbangan: Soalnya lebih repot ngatur duduknya anak. Kalo orang dewasa doang kan tinggal duduk aja.
Pikirin juga: Kalo anak bosen nunggu semua orang masuk pesawat. Soalnya saya pernah pas ke luar negeri yang cukup jauh (skitar 6 jam perjalanan) kan pakai pesawat besar (yang rownya bisa sampai 50an), anak saya bosan nunggu semua orang masuk dan duduk di pesawat. Yang ada dia nangis karena bosan. Mana kalo belum ganti mesin buat terbang kan AC masi panas, cuman keluar angin aja. Jadi kalo ada panggilan untuk masuk ke pesawat duluan, coba lihat anak anda lagi asyik main di gate apa sudah pengen naik pesawat.

Situasi: Anak kecil dapat makanan kids meal
Pertimbangan: Beberapa kids meal dilengkapi mainan. Makanan lebih kids friendly juga (misal tidak pedas, ada susunya, ada pudingnya, ada snacknya).
Pikirin juga: Kalo anak mengincar makanan kita. Pernah anak dapat kids meal: hot dog, applesauce, susu dan pudiing. Dia sih semangat minum susu dan makan puding, begitu dia liat hot dog, dia langsung minta sosinya aja. Eh, begitu makanan saya datang (yang isinya nasi sama ayam), langsung minta tukar makanan. Jadi, kalo bisa tanya in advance, kids meal airlines anda isinya apa, mungkin anda bisa memilih untuk tidak meminta kids meal buat anak anda. Butuh susu? Well, biasanya kereta minuman juga offer susu kok.

Situasi:Family yang bawa anak kecil duduk di belakang board pembatas.
Pertimbangan: Lebih banyak legroom dan lebih lega juga. Kalo bawa bayi, beberapa airlines menyediakan basinet supaya si Baby bisa ditaro.
Pikirin juga: Lokasi TV yang di beberapa airplanes tepat ada di depan anda. Kadang ketiadaan meja di depan bikin anak kesel - karena anak saya belum bisa angkat meja lipat yang di kursi tangan. Waktu terbang long-haul Tokyo-San Fransisco, daripada minta kursi yang di belakang board pembatas, saya lebih memilih kursi di bagian paling belakang. Selain anak bisa bolak balik ke WC (buat jalan-jalan and meluruskan kaki), kalo makan ngga harus menegakkan sandaran kursi. Kan di belakangannya sudah tidak ada orang.

Situasi: Mau bawa carseat ke pesawat
Pertimbangan: Kan lebih aman dan anak ngga usah terus-terusan dipangku.
Pikirin juga: Bawa carseat means bayar 1 kursi lagi loh Mom. Meskipun untuk perjalanan panjang, ini melegakan (karena ngga harus mangku or gendong terus), tapi mom biasanya harus bayar extra untuk 1 kursi. Tapi sisi positifnya, kalo si anak sudah duduk, kadang carseat yang ngadep ke depan itu mengganjal kursi anak, jadi dia bisa lihat jendela tanpa harus berdiri (yang biasanya dimarahi pramugari).

So, next time you're on a flight, check dulu ya...

07 April 2012

Batik Kebanggaanku


Kalau bicara batik, yang pertama muncul di benak saya adalah saat pertama saya mengenalkan warisan budaya Indonesia ini pada Andrew, putra saya yang ketika itu baru berusia 2thn.

Dalam satu kunjungan ke Semarang, kami mampir ke sebuah mall dan menemukan area membatik. Wah, saya langsung tertarik. Saya belum pernah membatik... apalagi ini bisa jadi kesempatan untuk mengenalkan Andrew akan warisan budaya Indonesia yang satu itu. Singkat cerita, si toddler ngotot mau pegang centing sendiri, ambil lilin panas sendiri... dan akhirnya sukses keselomot kompor sampe nangis membahana ke seluruh mall. Oops.


Tapi ngga lama nangisnya berhenti dan kita melanjutkan membatik sampai selesai. Sampai di hotel dia pamer kelingking yang melendung ke opa dan oma sambil ngoceh panjang lebar. Saya kena semprot Mama karena kurang hati-hati jaga anak sementara anak saya dengan bangganya menunjukkan hasil karyanya.

Untungnya sekarang sudah ada cara mengenalkan batik yang lebih aman dan tidak pakai ada acara keselomot kompor. Caranya dengan mengikutkan si kecil ke dalam program “Satu Batik Jutaan Jari” dari Bodrexin. Mudah kok, yang perlu dilakukan hanya mengirimkan foto sidik jari si buah hati dan foto expresi uniknya beserta tangan yang sudah dicap ke Fanpage Kebaikan Bodrexin.

Acara ini ada roadshownya dari kota ke kota di seluruh Indonesia. Selain batiknya unik, anak juga dapat ‘membatik’ dengan aman. Jangan sampai kelewatan ya. Keterangan lebih lanjut, selain ada di fanpage ada juga di twitter @tentangkebaikan.


Dan kisah keselomot kompor saat membatik itu jadi satu kebanggaan buat Andrew sampai sekarang dia sudah 6thn. Setiap kali pakai batik (seperti ke acara resepsi atau peringatan Kartini di sekolahnya), dia dengan bangga akan cerita ulang proses membatik, lengkap dengan expresi keselomot kompor-nya.

Saya sebenarnya ingin lebih sering Andrew mengenakan batik, tapi saya sering pusing mau dipasangkan dengan apa lagi ya batiknya? Karena anak saya cowok, mix and match saya suka mentok di kemeja dan celana. Well, kalau sudah mati ide, biasanya saya mampir ke Mommies Daily untuk mencari inspirasi. Selain sebagai sumber informasi (bukan hanya untuk fashion anak saja lho), Mommies Daily juga merupakantempat sharing para mommies.

In the end, saya jadi sadar kalau melihat anak saya segitu bangganya dengan batik yang dia buat, berarti saya juga harus bangga akan batik-batik yang dihasilkan bangsa Indonesia. Karena meskipun bukan saya yang membatik langsung, semuanya adalah hasil karya bangsa sendiri.

Pakai batik? Siapa takut?













Outfit 1: Batik shirt Danar Hadi + Jeans
Outfit 2: Batik shirt unbranded dari Jogja + Gap T-shirt beli di outlet + Little M pants
Outfit 3: Batik shirt unbranded dari Solo + Pants beli di Tajur + shoes beli di Singapore

13 February 2012

Ikhlas itu (Ternyata) Susah

Tahun lalu, saya dinasehati seorang teman: "Eh, anak loe mau 5 thn ya? Cepetan ikutin lomba, ntar udah keburu ngga bisa."
Yah, kalo ngga bisa terus kenapa?

Ternyata banyak yang ngga secuek saya.Sering terima message yang nanya: maksimal 5thn itu kalo belom 6 thn boleh ngga ya? dihitung 5 tahun di bulan apa?Sama juga dengan sebaliknya sih: Yahhh lomba untuk anak 1 tahun ke atas ya? kalo 11 bulan boleh ikutan? Yang namanya ibu-ibu, anaknya kan lucu-lucu ya, seringkali kita ga rela kalau anak kita ngga bisa ikutan lomba cuman karena batasan umur. Padahal fotonya udah pas! Saya juga sering merasakan frustrasi itu. Giliran ada fotonya umur anak saya udah lewat. Bahkan saya sampai pernah menyesali, seandainya anak saya waktu awal hidupnya ada di Indonesia, saya pasti lebih gila lagi lomba foto. Tapi, well, itu semua sudah berlalu. Waktu ngga bisa diputar ulang.Ngga ada gunanya juga meratapi umur anak yang terlewat (atau belum sampe).

Dari lomba-lomba ini, saya belajar banyak soal ikhlas.
Ikhlas karena ngga menang (ya ini sih jangan ditanya).
Ikhlas karena pas mau foto, anaknya ngambek or hujan or ada faktor X.
Ikhlas karena anak saya mogok fashion show.
Ikhlas karena ngga sempet kirim foto via pos.
Ikhlas beli produk yang kadang mahal atau yang ntar ngga kepake (lama-lama kapok).
Ikhlas merelakan weekend yang bisa dipake tidur/nonton buat ngejer foto.
Dan yang pasti...Ikhlas merelakan ngga ikutan lomba lagi karena anak saya skrg sudah 'tua'

Yang terakhir yang paling susah. Soalnya saya termasuk 'terlambat' ikutan lomba secara setelah beberapa tahun, saya jadi belajar gimana teknik foto anak, di mana tempat2 seru buat foto, dll. Pas semua sudah ketemu, eh anak saya udah lewat usia balita aja dong.... HIKS. Mana anak saya cowo pula. Kalo cewek kan lewat balita masi ada banyak ya, kalo cowok? Hiksssssss (masih ngga rela)

Makanya saya seneng banget punya web/blog/fb Pfenix ini. Soalnya saya udah terlanjur suka browsing ke sana sini. Trus kalo umur anak saya sudah lewat, informasi lomba yang saya temukan mau diapain? Masa lihat brosur, kecewa "yahhh umurnya dah ga bisa" trus udah gitu aja? Kalo ada Pfenix kan enak hehehe... Cuma, ya saya jadi ngga serajin dulu keliling supermarket/hypermarket/mall tiap weekend cuman buat liat ada lomba baru ngga ya. Paling-paling pas lagi belanja bulanan/jalan sama anak aja.Untuk yang itu, gantian moms yang harus ikhlas ya. Hehehe.

Sekarang anak saya sudah lima tahun setengah.Mukanya boros pula, kayak anak 8thn.So it's time for me to say goodbye ke lomba-lomba balita yang seru habis itu. Haha. Padahal anak saya juga ngga rajin-rajin amat ikutan. *drama*


PS: Saya jadi tergerak menulis notes ini setelah membaca ada yang ikutan lomba dengan memalsukan umur anak atau mengikutkan foto yang pernah menang lomba (padahal di peraturannya jelas2 dibilang ga boleh) dan cara lain sebagainya yang bisa masuk kategori 'ngga jujur'. Makanya saya jadi kepikiran betapa susahnya yang IKHLAS itu. Tulisan ini TIDAK bermaksud menyindir pihak manapun. Hanya sharing saja. Semoga kita bisa tetap senang-senang dengan berkompetisi sehat ya Moms.