30 November 2010

Tuhan, Tolong Jawab Pertanyaan Ini…

Anak saya, Andrew, ikut Sekolah Minggu sejak bayi. Berdoa sudah lancar dan baca alkitab hampir setiap malam. Dia bahkan punya sebuah alkitab bergambar untuk anak-anak. Sekarang anak saya duduk di TK-A dan rajin membaca STAR. Alkitabnya juga masih dibaca. Bagus dong, mengenalkan cerita Tuhan Yesus sejak dini…. Eits… ternyata tidak segampang yang anda bayangkan loh.

Setiap malam, saat hendak baca alkitab, saya selalu was-was. Anak saya ini terhitung banyak bicara dan banyak bertanya. Tidak ada yang lolos dari pengamatannya. Setiap kali membaca alkitab, ada saja yang ditanyakannya. Saya berasa seperti tua-tua Farisi yang sedang ditanya-tanya sama Tuhan Yesus kecil. Coba simak pertanyaan berikut:

“Ma, bintang orang Majus sama ngga dengan second star to the right?”

“Lain dong,” jawab saya. “Bintang orang majus kan menunjukan tempat Tuhan Yesus lahir.” Second star to the right adalah lokasi Neverland berdasarkan cerita Peter Pan karya J.M. Barrie. Dan kasus bintang orang Majus bukan yang pertama dan terakhir yang berkaitan dengan pop culture. Melihat raja Mesir yang jahat dalam cerita Musa, anak saya langsung komentar, “Oh… seperti yang di Little Einstein ya, Ma? Yang ke Egypt itu loh…” Little Einstein adalah salah satu cerita Playhouse Disney favoritnya. Atau ketika saat saya mencoba menjelaskan bedanya malaikat dengan Tinkerbell.

Tapi itu masih masalah mudah. Membaca perjanjian lama biasanya lebih menantang buat saya. Apalagi kalau ceritanya ada adegan berantemnya seperti Daud dan Goliath. Goliath digambarkan sebagai orang jahat yang besar dan membawa pedang dan perisai. Halaman pertama menggambarkan orang Israel yang lari ketakutan karena kalah dari Goliath. Halaman kedua menggambarkan Daud yang sedang mengambil batu di tepi sungai. Berikutnya… anda sudah tahu dong, Daud mengalahkan Goliath pake apa…

“Ma, Daud kok ambil batu? Kok batunya dilempar ke orang jahat? Jadi kalau ada orang jahat, Andrew boleh lempar batu ya?”

Kalau boleh memilih, saya pilih menggantikan Daud melempar Goliath dengan batu saja deh. Masalahnya anak saya belum mengerti konsep “jahat.” Orang yang tidak mau mengikuti kemauannya juga sering dibilang “jahat” sama anak saya. Apalagi dia belum bisa membedakan antara nakal dan jahat. Kalau mengikuti petunjuk Daud, bisa-bisa teman sekelasnya yang kena lemparan batu. Soalnya pernah suatu kali dia pulang sekolah dan bercerita: “Ma, tadi Kevin jahat. Soalnya pas miss cerita, dia ngobrol.” Nah loh…. Kena timpuk deh Goliath, eh Kevin…

Alkitab juga mengenalkan bahwa Tuhan Allah itu maha kuasa. Tuhan Allah memang hebat. Bisa menciptakan alam semesta dan isinya… masalahnya, di alkitab anak saya, Tuhan Allah lupa menciptakan baju untuk Adam dan Hawa.

“Ma, kok cewek dan cowoknya telanjang?”
Waduh… bagaimana menjelaskannya pada anak 3,5 tahun? “Soalnya Adam dan Hawa belum makan buah yang dilarang, jadi mereka belum tahu malu…” Untuk anak saya “oh… oh… “saja mendengar penjelasan saya yang tidak menjelaskan sama sekali itu. Ketika lain waktu dia bertanya lagi, saya sudah menemukan jawaban yang lebih simple, “kalau jaman dahulu belum ada baju jadi mereka pakai daun.” Masalah Adam dan Hawa yang “lupa” digambar bajunya itu pun selesai.

Masih masalah baju… Begitu Tuhan Yesus besar dan masuk ke Yerusalem menggunakan keledai, anak saya mulai mengerutkan dahi. Sejenak kemudian dia bertanya, “Ma, kenapa Tuhan Yesus pake rok? Kan Tuhan Yesus cowok.” Belajar dari pengalaman sebelumnya, saya segera menjawab, “soalnya jaman dulu belum ada celana,” sambil menunjukkan banyaknya bapak-bapak pake rok yang sedang menebar daun palem untuk jalan lewat Tuhan Yesus.

Ngomong-ngomong soal jaman dahulu, hari Natal ini anak saya belajar tentang cerita Tuhan Yesus. Selain dapat dari Sekolah Minggu, dia juga lihat di alkitabnya. Lalu timbullah pertanyaan:

“Ma, kok Tuhan Yesus lahirnya di kandang domba?”

Waduh, jawab apa lagi saya? Untungnya, kali ini sebelum saya kehabisan akal, anak saya sudah menjawab sendiri “Oh, soalnya jaman dulu ngga ada rumah sakit ya.”

Terima kasih, Tuhan.
Amin.

18 November 2010

The Joy of Giving


Minggu lalu saya mengajak anak untuk memilih mainan yang sudah tidak dimainkannya lagi untuk disumbangkan.

"Kenapa, Ma?"

"Soalnya banyak anak yang membutuhkan mainan, tapi tidak mampu beli."

Ternyata dia senang -- walaupun kesulitan memilih mainan mana yang akan direlakan untuk disumbang. Tapi, saya mudah memberikan pengertian menyumbang karena dia sudah nonton TOY STORY 3. Haha. Jadi dia tahu mainan yang akan disumbang itu berarti untuk di mainkan kembali. Moga-moga di tempat baru tidak ada LOTSOnya ya hehehe...

Buat saya, susahnya menyumbang dimulai dari tidak adanya figur yang jelas: siapa yang dapat mainan. Mungkin karena anak saya orangnya visual, jadi kalo menyumbang, dia tanya "siapa yang dapat mainan saya nanti, Ma?" Agak susah jawabnya karena kebetulan, tempat yang menerima sumbangan hanya menuliskan sebuah nama Yayasan. Jadi, menyumbang bisa jadi lebih efektif kalau ada figur yang kids can relate to.

Kan lebih enak bilang "Itu loh, buat kakak yang itu." (sambil menunjuk gambar). Daripada hanya mengatakan hal yang abstrak. Well, namanya juga sama-sama belajar. Anak saya belajar menyumbang, saya bejalar menjelaskan kenapa kita harus berbagi.

16 November 2010

Untuk Sebuah Piala

Kalau bicara gain moment, yang pertama muncul di benak saya adalah piala pertama Andrew. Kenapa? Karena piala tersebut merupakan hasil perjuangan seorang anak balita untuk mendapatkan apa yang diincarnya selama setahun terakhir.



Waktu Andrew 2 tahun, saya iseng-iseng mengikutkan dia lomba foto. Eh, dia kok terpilih sebagai finalis? Sejak itu, saya jadi semangat mengikutkan dia di lomba-lomba yang lainnya. Ada yang berhasil sih, tapi lebih banyak gagalnya.

Seiring dengan bertambahnya umur, bertambah pula keingintahuan Andrew tentang lomba yang diikutinya. “Lomba apa, Ma? Andrew harus apa, Ma? Kok, antrinya lama, Ma?” Waktu pertama fashion show, disuruh ganti baju saja menangis. Disuruh berjalan di panggung hanya senyum malu-malu. Sekarang dia semangat naik panggung, bisa sabar antri menunggu giliran dan bisa diarahkan agar bergaya.

Tapi, muncul masalah baru: dia sering menangis kecewa jika kalah. Waduh!

Usut punya usut, ternyata Andrew menangis karena tidak dapat piala. Saya sampai bingung karena kok anak 3 tahun sudah mengerti piala? Ternyata dia diam-diam sering memperhatikan piala kami sekeluarga yang dipajang Papa di rumah. Masing-masing anggota keluarga paling tidak punya satu yang dipajang. “Di rumah, cuma Andrew yang nggak punya piala,” jawabnya di sela isak tangisnya.

Ketika untuk kesekian kalinya dia tidak berhasil lagi, Andrew mogok ikut lomba. Kemenangan yang menghasilkan barang, uang ataupun piagam tidak digubrisnya. Yang diinginkannya hanya satu: memajang piala hasil lombanya di samping milik kami semua. Kami sempat kewalahan menghadapi kekecewaannya. Papa saya sampai ingin membelikan Andrew sebuah piala supaya dia tidak kecewa lagi, dan tidak menangis lagi kalau kalah. Tapi ide tersebut saya tolak mentah-mentah. Suatu hari nanti Andrew pasti dapat piala dari hasil kemenangan sendiri, bukan kemenangan yang dibeli. Yang penting sakarang adalah bagaimana memotivasi anak batita ini supaya mau ikut lomba lagi. Kalo tidak ikut lomba kan mana bisa dapat piala?

Enam bulan kemudian pada perayaan Hari Kartini di sekolahnya, saya sengaja melibatkan dia untuk memilih sendiri baju daerah yang akan dipakainya agar dia lupa dengan lomba itu sendiri. Benar saja, Andrew jadi bersemangat memilih kostumnya. “Andrew mau pakai baju Bali, Ma!” katanya. Hari H datang dan Andrew sudah sibuk mau pakai bajunya sejak bangun tidur. Saya jadi khawatir. Bagaimana kalau kali ini dia tidak berhasil mengalahkan rasa putus asa itu?

Satu jam sebelum tampil Andrew ngantuk.

“Andrew, kalo dibangunkan pas gilirannya, jangan marah ya?”
“Oke, Ma!” sahutnya, lalu dia merebahkan kepalanya ke pangkuan saya dan tidur. Sepuluh menit sebelum gilirannya, dia saya bangunkan. Sambil mengusap-usap mata, saya membetulkan kostumnya.
“Andrew, kalau kalah jangan menangis ya. Kita coba lagi.”
Dia mengangguk sambil menguap, “Iya, Ma. Kita coba lagi.”
“Kamu ingat yang kita sudah latih kemarin?”
“Ingat, Ma.”
“Mama di depan ya, nanti jangan lupa senyum!” Dia tersenyum dan saya melepasnya kepada guru kelasnya yang datang untuk mengumpulkan anak yang akan tampil.

Sore itu saya melihat anak saya berbaris dan bergaya melawan 60 anak lain seusianya dengan kostum daerah yang bagus-bagus. Saya langsung pesimis, Andrew kan cowok, mungkin gak ya menang lawan anak perempuan kalau fashion show? Setelah anak terakhir turun panggung, juri masih harus berunding menentukan pemenang. Saya mengulang lagi kata-kata saya sambil mengganti kostum Andrew yang menurutnya gatal. “Andrew kalau kalah tidak apa?” “Tidak menangis, Ma. Nanti kita coba lagi.” Paling tidak, dia sudah mengerti.

Begitu juara diumumkan, dia tegang. Saya tegang, opa-nya tegang, sampai susternya pun ikut tegang. Juara tiga dipanggil, ternyata nama Andrew yang disebut. Andrew melihat nomor pesertanya dengan tidak percaya. “Ma, Andrew ya? Andrew juara ya, Ma? Andrew dapat piala ya, Ma?” Dia segera berlari ke panggung dengan senyuman lebarrrrrrrr sekali. Senyuman kemenangan.

Terus, sekarang apa? Sepulang lomba, dia segera meletakkan pialanya di samping piala-piala yang ada. Lalu dia mulai bertanya, yang mana piala siapa. Begitu saya sebutkan satu persatu dia yang tadinya semangat jadi terdiam.

“Kenapa, Andrew?”
“Piala Mama lebih besar.”
“Ya, besar kecil sama saja.” Saya coba menghiburnya.
“Piala Om Jordan ada satu dua tiga…” dia menghitung sampai tujuh. “Andrew punya cuma satu Ma. Andrew mau dapat 10, Ma. Mau menang dari Om Jordan!”

Memenangkan sebuah piala mengajarkan Andrew tentang arti perjuangan. Tapi ternyata seiring dengan berakhirnya perjuangan mendapatkan piala, dia menemukan hal lain yang harus diperjuangkan: mendapatkan lebih banyak piala. Sepertinya sekarang, motivasi Andrew untuk menang tidak ada habisnya. Adik saya, yang memang paling jenius di keluarga dan pialanya paling banyak, hanya tertawa waktu saya beri tahu.

“Silahkan.” Katanya.
“Oke, Om! Andrew pasti kalahin Om!” kata Andrew, menerima tantangan Om-nya. Selamat berjuang, Andrew!

Entry ini diikutkan Writing Competition "Capture Your Gain Moment" dari majalah Parents Guide Indonesia... dan berhasil masuk sebagai finalis. *bersyukur*

05 November 2010

KALAH!

Siapa sih yang senang anaknya kalah?Apalagi kalau yang menang "ngga lebih baik" dari anak kita. Hehehehe...Tapi, ya, yang namanya ibu... mana ada sih anak yang lebih baik dari anak kita sendiri? Iya ngga?

Saya sering kalah loh. Anak saya beberapa kali nangis karena kalah. Saya sampe mau ikut nangis juga huhuhuhu...Malu-maluin banget ya? Tapi ya dari kekalahan itu, saya jadi koreksi diri. Jadi belajar, apa sih yang bikin orang lain menang?

Kostum: Lihat dress code! Kalo udah ngga sesuai gimana mau menang? Kalo ngga mau usaha mencari celana pantai yang oke buat tema "beach fashion" ya jangan harap dapat nilai bagus di panggung. Kita aja sehari2 ngga mau saltum, apalagi anak yang mau fashion show di panggung.
Kesiapan anak: Lomba menyanyi bisa langsung gagal kalo anaknya malu2 dan suaranya kecil biar mic sudah nempel dengan mulut. Anak kita biasanya OK kok! Yah, biasanya emang OK, tapi di panggung dia ngga keren. Yang dinilai kan di panggung.
Selera juri: Yang ini susah nih. Biarpun anak kita warnainnya udah rapiiiiii... ga keluar garis 1 mili pun, anak kita bisa kalah hanya karena si juri lebih suka merah daripada hijau. Haduhhhh.... Faktor X banget ya, Mom. Tapi ya itulah nasibnya lomba. Kl ga ada faktor "luck" ya ga seru hehehe...

Satu hal yang saya selalu remind diri saya sendiri: mau yang menang itu fotonya ga sesuai tema, mau yang menang itu make-upnya ketebelan, mau yang menang itu anaknya lari-lari ke sana sini bukannya fashion show, mau yang menang itu mewarnainya ga beres, keluar garis... tetap saja DIA yang menang. Dan kita harus terima kekalahan itu dengan lapang dada. Plus, jangan sampe kita nyalahin anak yang sudah berusaha keras untuk tampil di panggung.

Learn how to accept defeat and turn it into a motivation for the next competition.